21. Siang Demi Siang

4.1K 900 218
                                    

 "Ya, kali, Al! Raga masih lama keluar! Lo mau nungguin dia buat peresmian panti asuhan lo?" Seni menepuk jidat sambil menatap Alvela yang sibuk belajar masak di dapur.

"Bucin detected," Belia berbisik kepada Seni.

Tentu saja Seni setuju dengan apa kata Belia. "Lo, kok, bisa-bisanya, sih, jadi terlena gitu sama Bang Raga?" Tawa Seni lalu mengudara begitu riuh.

Perempuan yang sedang hamil muda di saat usia anak keduanya masih 4 bulan itu menatap Alvela dengan pandangan menggoda. "Di penjara ada dukunnya, nih, kata gue. Curiga gue Bang Raga di sana dapet ilmu pelet."

"Baik-baik lo kalau ngomong, Bunda! Inget, lagi hamil muda. Anak ketiga lo gede jadi dukun baru tahu rasa!" Alvela berbalik, lalu melempari Seni dengan serbuk-serbuk tepung yang ada di tangan.

"Lucu! Ntar nama bekennya jadi Ki Joko Madaharsa!" Bukannya membela Seni, Belia justru bergabung dengan Alvela sampai tertawa keras-keras. Membayangkan keturunan Arayi akan ada yang nyeleneh rasanya jadi hiburan tersendiri!

"Nggak konsisten amat hidup lo, Bel. Tadi gibahin Alvela, sekarang gibahin gue!" Seni mendengkus kesal. Memang, sih, suaminya berengsek luar biasa. Baru beberapa minggu berhasil turun berat badan, sekarang dia tekdung lagi!

"Kalau lo nanti kesusahan ngerawat anak-anak lo, titipin ke sini nggak apa-apa. Yang bayi tapi, ya. Jangan Bhara atau Gamma. Males gue sama mereka." Alvela datang dengan membawa sepiring pisang goreng buatannya sendiri.

Meski tampilannya lumayan sedap dipandang, tapi Belia dan Seni masih sangsi, enggan memakan.

"Lo kasih ke gue juga nggak papa. Biar nanti masuk ke KK gue sama Raga." Alvela menatap Seni, menantang sambil menyeringai tajam.

"Ih, lo modus lo! Bilang aja lo pengen punya anak sendiri! Bikin, lah, sama suami lo! Jangan anak gue lo minta," Seni mencibir. Lalu tanpa sadar mencomot pisang goreng Alvela dan memakannya.

Belia yang melihat hal itu lantas harap-harap cemas. Begitu juga dengan Alvela yang menanti reaksi Seni. "Gimana? Enak?"

Seni menghela napas. "Bodoh banget sumpah! Pantes abang gue hipertensi, segala pisang goreng lo kasih garam, Al, Al."

Belia menutup mulut, mencoba menahan gempuran tawanya. Sementara itu Seni berjalan menuju kulkas mengambil jus yang tadi ia bawa dari rumah.

"Masa asin, Ni?" Alvela merengut, menatap Seni.

"Asin sumpah! Lo gue saranin masak apa-apa pakai bumbu instan, deh. Gampang nggak ribet."

"Tapi nanti rasanya jadi nggak otentik, Ni."

"Peduli amat! Yang penting, kan, lo judulnya masakkin Raga, Al." Seni berdecak heran, lantas berjalan mencari suster yang ia titipi Gamma tadi. "Mau pulang, ah, gue. Mau jemput Bhara."

***

"Akhirnya Bhara ngerasain jadi jelek, ya?" Mirrea dengan aksen Jepang-Indonesianya tersenyum, bercanda dengan Bhara yang sedang menekuk muka lantaran pipinya luka-luka.

"Cowok-cowok bakalan selebrasi, sih, ini. Syukur-syukur, selamanya aja pipi kamu merah-merah, Bhar." Hazel menjulurkan lidah, menggoda Bhara.

Sementara itu Bhara hanya diam sambil berkali-kali mengelola pernapasan. Gara-gara Yaffi goreng ikan, ia jadi tumbal!

"Tapi, biar aku begini, kamu tetep suka sama aku, kan, Mirrea?" Bhara memutuskan untuk senyum-senyum ke arah Mirrea.

"Bhara, no girls will fall in love with cowok yang selalu pinjam pulpen!" Mirrea tertawa makin kencang.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang