"Mas, selamat, ya. Semoga nanti sepulang dari sini, hidupnya jadi lebih baik. Bisa balik lagi makan enak sehari tiga kali." Seorang kawan yang tinggal satu sel dengan Raga mendekat. Menepuk bahu Raga dengan mata berkaca-kaca.
Raga yang tadinya sedang merapikan isi container box-nya lantas berbalik badan dan tersenyum kecil. "Kok, mewek, Mas?"
Pria itu menggeleng pelan. "Saya, udah 3 kali masuk penjara, dan baru kali ini ketemu temen satu sel yang kayak Mas Raga. Mas Raga orangnya pendiam, tapi perhatian sama semua orang. Mas Raga bisa aja dapat sel yang bagusan itu, tapi Mas milih di sini. Mas Raga bahkan menolak kesempatan dapat remisi. Mas Raga juga punya kesempatan untuk bebas bersyarat, tapi Mas Raga memilih menjalani hukuman sampai benar-benar kelar."
Lagi-lagi Raga tersenyum. Dalam hati ia menjawab, seandainya ia dipenjara puluhan tahun pun, rasanya tetap tidak bisa mengurangi dosa yang pernah ia torehkan kepada ibu dan adiknya di masa lampau.
Tapi paling tidak, kini ia akan berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi, yang menerima segala situasi, mengingat ia kini yatim piatu yang tak punya lagi orang tua untuk membantu membentengi diri.
"Sumpah, Mas. Seandainya 5 atau 10 tahun lagi Mas nyalon jadi DPR, atau bupati, atau gubernur, saya akan nyoblos Mas Raga!"
"Terima kasih." Raga menutup melankolia itu dengan maju dan memeluk tubuh sang kawan. "Barang-barang saya akan saya tinggal, Mas. Pakai aja nanti, ya. Sarung dari istri saya bagus-bagus, bisa buat salat bisa juga buat selimutan. Kaos, kemeja, dan celana juga masih layak kalau Mas pakai."
Pria itu melepas pelukan. Membiarkan kawannya kini menunduk sesenggukkan. Perlahan, Raga bergeser ke tiga napi yang lainnya. Memeluk satu per satu. Memberi ucapan semangat dan motivasi untuk tabah.
Sementara Kamael, pemuda itu sudah bebas beberapa bulan lebih awal dari tanggal kebebasan Raga hari itu.
Tepat pukul 10 pagi, seorang sipir mendekati sel Raga. Menjemput pria itu untuk diantar menuju udara kebebasan.
Sepanjang lorong, Raga banyak disapa oleh narapidana lain. Termasuk Gayus yang dulu pernah menusuknya dengan gunting. Namun, sapa Gayus jelas beda. Pria itu tersenyum penuh misteri, melambaikan tangan, dan berkata, "Hati-hati!"
***
"Jangan datang ke sini lagi, ya, Pak." Arnold menjabat tangan Raga. Setelah Raga menyelesaikan administrasi kebebasannya, ia dipanggil sebentar untuk berbincang dengan Arnold.
"Nggak banyak ada kalangan atas yang menerima hukuman penjara dengan sangat legowo. Pak Raga, bisa jadi hanya satu-satunya yang berdiam menjalani hukuman tanpa pernah ribut melakukan pembelaan. Saya percaya, masalah di masa lampau, bukanlah murni kriminalitas, melainkan adalah bentuk dari kebaikan hati Pak Raga sendiri."
Raga tersenyum saat mendengar pujian sang kepala lapas.
"Terima kasih, Pak Arnold. Saya dapat banyak hikmah dan pembelajaran setelah 'sekolah' di sini. Kalau saya nggak pernah ke sini, saya nggak akan pernah dapat hikmah apa-apa, Pak. Saya memang sedang menebus kesalahan."
Arnold mengangguk. Ia lantas berdiri, menepuk pundak Raga, dan mengantar pria itu hingga ke lobi. Namun, bagai teringat sesuatu, Raga berhenti melangkah, dan berkata, "Pak, saya mau keluar lewat pintu yang biasa dilewati sama narapidana yang baru bebas, Pak. Jangan lewat lobi officer."
"Pak, lebih enak keluar lewat sini, Pak."
Raga menggelengkan kepala. "Kalau bukan wajah istri yang pertama kita lihat, percuma enak juga, Pak."
Arnold terbahak. Memang, bukan rahasia lagi kalau Raga terkenal sebagai suami yang sangat menyayangi istrinya. Raga bahkan pernah masuk ke klinik karena berminggu-minggu memakan makanan dari istri yang memicu hipertensi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEHANGAT DIPELUK RAGA
RomanceBarangkali, rumah tangga Alvela dan Raga adalah satu-satunya yang aneh di dunia. Raga yang fakir cinta. Dan Alvela yang mengerti cinta namun berada di jalur berbeda. Alvela masih berpikir, sebagai seorang penyuka sesama jenis, ia mungkin tak akan...