Melosa
Aku dan Jeff memiliki selisih usia dua tahun. Kami harusnya tidak saling bertemu, tetapi saat itu Jeff sama sepertiku yang tak punya teman. Bedanya aku dijauhi dan ia menjauhi. Tidak ada yang mau berteman denganku karena aku tak punya uang. Sementara, tidak ada yang tulus berteman dengannya karena ia punya banyak uang. Kami berbeda, tetapi perbedaan itu terasa menggores kesadaranku. Bahwa punya uang atau tidak punya uang, semua manusia di dunia ini adalah palsu. Semuanya memakai topeng dan berpura-pura.
Sepertiku yang selalu memakai topengku dan berpura-pura. Aku pun tidak tahu aku bersandiwara sebagai apa. Yang kutahu, aku adalah Melosa Helga, anak yang dibiayai Yudi Wilano yang brilian, penuh percaya diri dan dewasa orang seusiaku. Semua orang berpura-pura baik padaku, semuanya. Bahkan papaku sendiri.
"Kamu bisa kan membujuk Yudi Wilano untuk Papa?"
Aku menatap papaku yang datang menemuiku di sekolah. Usiaku memasuki tujuh belas tahun dan berita tentangku yang menjadi anak yang dibiayai oleh Yudi Wilano mulai tersebar ke mana-mana. Banyak orang-orang yang mencoba mengambil hatiku, terutama mereka yang orang tuanya bekerja dengan Index Group. Menurut mereka, aku istimewa karena aku dipilih menjadi semacam anak angkat dari pemilik Index Group. Yudi Wilano sendiri dikenal objektif dan hanya akan melakukan hal semacam ini jika ia menyukai individunya.
Index Group adalah perusahaan yang bergerak di bidang real estate. Papa memiliki perusahaan yang bergerak di bidang jasa pembangunan proyek. Ia tentu saja membutuhkan Index Group untuk memakai jasa perusahaannya. Namun, sampai hari ini ia tak pernah bisa mendapatkan kesepakatan dengan Yudi Wilano.
Aku menatap papaku. Ia adalah orang tua kandungku yang tersisa, tetapi tak pernah ada untukku. Ia membuangku dan mama saat usiaku baru sekitar tujuh tahun untuk hidup bersama dengan perempuan yang ia cintai. Bahkan, walau jika pernikahannya dan mama merupakan sebuah pernikahan karena perjodohan dan ia tidak mencintai mama, haruskah ia membuang kami seperti sampah? Ia bahkan tidak pernah berkunjung untuk menemuiku yang merupakan darah dagingnya sendiri. Aku tersenyum mengejek.
"Penawaran harga yang Anda berikan terlalu tinggi. Selain itu kualitas pembangunan yang biasa dilakukan oleh Atmadja Corporate juga sering mendapat komplain. Pak Yudi tidak sudah membuat keputusan dan tidak bisa diganggu gugat, jadi jangan mengganggu saya untuk urusan Anda," balasku.
"Tapi, kamu anak papa, Sa! Kamu tega melihat papa nggak bisa biayain sekolah adikmu? Nggak bisa nafkahi mamamu?" tanyanya membuatku hampir menyiramnya dengan bubble tea yang ia pesankan buatku.
Lucu sekali melihatnya yang bahkan tidak tahu jika aku tidak suka bubble tea, memohon padaku supaya mengasihani hidupnya yang tidak pernah sengsara. Memangnya kalau kehilangan proyek ini, ia akan jatuh miskin?
"Itu bukan urusan saya," ujarku datar. "Lagi pula, mama saya sudah meninggal. Saya anak tunggal dan saya tidak merasa punya adik."
Wira Atmadja menatapku tak percaya. Raut wajahnya berubah. "Durhaka!"
"Durhaka? Saya yakin Anda bukan papa saya," kataku malas. "Anda juga tidak membiayai pendidikan saya, bahkan saat mama meninggal, Anda datang ke pemakamannya? Tidak. Jadi jangan anggap saya anak Anda. Saya yatim piatu."
Aku melangkah keluar dari kafe tempat ia membawaku. Aku tidak mau berada di sini, tetapi Wira Atmadja memaksaku mengikutinya ke kafe yang tidak ada satu pun makanannya kusukai. Aku melangkah keluar dari sana, berjalan meninggalkan kafe dengan perasaan hampa. Namun, tiba-tiba lenganku ditarik secara paksa diikuti satu tamparan kasar di pipi kiriku membuat telingaku berdengung.
"Tidak tahu diri! Saya menyesal sudah melahirkan anak kayak kamu!"
Aku menarik napas panjang, menatapnya yang tampak marah. Wajahnya memerah, matanya mendelik. tangannya terangkat menunjuk wajahku. Dari semua fitur wajahnya, aku sama sekali tidak memiliki apa pun darinya.
Syukurlah, aku seratus persen mirip mama. Dengan rambut hitam panjang, mata yang kelihatan sedikit menukik ke atas memberi kesan jutek, hidung mancung dan pipi tirus yang memberi kesan kurang ramah. Aku benci penampilanku, tetapi aku bersyukur kali ini karena wajahku hanya mengingatkanku pada mama.
"Anda memang tidak pernah melahirkan saya. Mama yang melahirkan saya."
"Anak sial!"
Ia ingin menamparku lagi. Aku hanya diam, bersiap menerima tamparan yang walau sakit, tetapi harus kuterima. Biarlah, supaya ia tidak menggangguku lagi. Namun, kudapati sosok pria tinggi dengan aroma sandalwood dan maskulin berdiri di memunggungiku. Tangannya menahan tangan papaku. Ia melirik ke arahku sejenak, membuatku lagi-lagi melihat bekas luka di pipi kanannya yang tampak samar. Kenapa Eryx berada di sini?
"Saya mau tahu, kenapa Bapak Wira Atmadja memukul anak angkat keluarga Wilano?" Ia berbalik menatap papaku.
Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya, tetapi yang kutahu wajah papa langsung berubah. Ia melangkah mundur, memasang senyum yang seolah siap menjilat ujung sepatunya.
"Eryx Baskara." Ia berujar, seolah perlu menyebutkan nama lengkap Eryx. "Saya hanya mencoba mendidik anak saya."
"Melosa Helga bukan anak Anda. Secara hukum, hak asuhnya berada di tangan ibunya, Sintia Airlangga yang sudah meninggal, dan saat ini dimiliki oleh atasan saya. Yang Anda lakukan adalah kekerasan," katanya datar.
"Saya papa kandungnya-"
"Saya tidak peduli siapa Anda, Pak. Mau Anda papa kandungnya, pamannya atau kakeknya, Anda tidak berhak menyentuh anak angkat keluarga Wilona. Dan, hal ini tidak akan membuat perusahaan Anda bisa bekerja sama dengan Index Group."
Eryx berbalik kepadaku, melirik wajahku sejenak lalu menggandeng tanganku mengikutinya. Ia membawaku menuju ke mobil pribadinya, Pajero hitam yang merupakan pemberian Yudi. Aku tidak mengatakan apa-apa, mengamati papaku yang memandangi kepergian kami dengan wajah gusar. Aku mengembuskan napas kasar saat tidak lagi melihat sosok papaku. Pipiku terasa panas dan perih.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya tanpa menatapku, membuatku mendengkus.
"Apa saya kelihatan nggak apa-apa?" balasku tanpa menatapnya.
Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Hatiku terasa sesak hingga membuat tenggorokanku tercekik. Berulang kali aku menarik dan mengembuskan napasku, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa sesaknya tidak berhenti. Aku tidak melirik ke arah Eryx sama sekali. Aku tidak mau ia melihatku seperti ini.
"Nangis aja kalau mau nangis. Saya nggak akan lihat," katanya rendah.
Aku menggigit bibirku kuat. Menangis tidak ada gunanya. Kenapa menyuruhku menangis? Aku tidak akan menangis. Aku menatap keluar jendela, merasakan cairan hangat mengalir di wajahku.
Aku tidak menangis. Air mataku keluar karena aku terlalu kuat menggigit bibirku.
Aku mengusap wajahku kasar, menatap keluar jendela sambil berusaha mengalihkan pikiranku. Eryx tidak mengatakan apa pun kepadaku, bahkan saat kami tidak di rumah, ia masih diam. Aku melangkah turun dari mobilnya tanpa mengucapkan terima kasih. Namun, ia menahan tanganku dan memberikan lolipop ke tanganku. Ia masih diam seribu bahasa saat aku menatapnya aneh, lalu beranjak meninggalkanku dan kembali ke dalam mobilnya.
Aku terdiam, masih tidak mengucapkan terima kasih walau aku punya kesempatan. Ia menyalakan mesin mobilnya, lalu kembali mengemudikan mobilnya meninggalkan halaman rumah. Aku masih terpaku di tempat, menatap mobilnya dan lolipop yang ia berikan padaku bergantian. Aku menarik napas, hampir gemetar karena tidak sanggup menahan semua perasaan yang berkecamuk di hatiku.
Aku kesakitan, aku terluka. Dan yang paling penting, aku tidak boleh jatuh cinta di tengah keadaanku yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Wife
RomanceBagi Melosa Helga, Eryx Baskara adalah rumah yang tak akan pernah ia miliki seutuhnya. Lelaki itu hanya akan menjadi angan, kasih tak sampai, lelaki yang tak akan bisa Melosa gapai hatinya. Namun, Melosa yang telanjur menambatkan hatinya, tak bisa m...