Sembilan

21.3K 1.9K 29
                                    

Melosa

Seperti yang kujanjikan, aku datang ke kampus Naya kuliah. Kampus yang sama dengan kampusku dulu. Kulihat keadaan sekitar kampus sudah sepi. Tidak banyak mahasiswa yang lewat saat aku berjalan masuk ke halaman. Yah, wajar karena pada waktu begini, semua mahasiswa biasanya sudah pulang ke rumah. Tidak ada juga yang mau berkeliaran di sekitar kampus. Membuatku sedikit bersyukur dengan keputusanku untuk menjemput Naya.

Aku mengenakan jaket hitam dengan tudung yang dapat menutupi seluruh wajahku, dengan celana jin dan kaus putih santai. Kulihat Naya juga memakai pakaian yang serupa denganku. Kaus putih santai, celana jin yang sama denganku, tetapi jaketnya berwarna kuning cerah dengan motif bebek.

"Kakak!" Ia tersenyum lebar, berlari ke arahku dengan ceria.

"Nggak usah lari-lari," kataku saat Naya tiba di depanku. "Lo biasa pulang jam segini tiap rapat?"

Ia memasang wajah kesal, menggeleng pelan lalu segera tersenyum. "Kakak, aku lapar! Makan yuk? Traktir aku, ya?"

Aku menghela napas. Aih, anak ini!

"Langsung malak aja lo, bocil!" omelku membuat Naya tersenyum lebar.

Aku berdecak, menjitak keningnya dan berjalan mendahuluinya. Naya langsung menyusulku dengan langkahnya yang ceria. Sekilas, kulihat seorang lelaki mengikuti kami. Mungkin hanya perasaanku saja.

"Mau makan apa?" tanyaku melirik Naya, berpura-pura fokus padanya padahal aku mengamati sekeliling.

"Mau nasi goreng kampung! Naya juga mau daging sapi, ya, Kak?" jawab Naya sambil menggandengku.

Aku mengerutkan kening, tidak terlalu mendengar ucapan Naya saat melihat ada tiga lelaki lain yang secara perlahan mengikuti kami. Aku menatap Naya sekilas dengan waspada.

"Di kampus ada toilet yang masih buka? Gue mau ke toilet dulu," kataku sedikit keras.

"Ih, Naya udah lapar, Kak! Di restoran aja ya?" balasnya melengking penuh protes.

Aku melirik Naya. "Sekarang Naya."

Naya menatapku dengan bibir berkerut, lalu menggandengku menuju toilet. Sekali lagi, aku mengamati sekeliling, menyadari jika ada total empat lelaki yang kini mengikuti kami. Mungkin mengikuti Naya. Aku menggenggam tangan Naya erat, membuatnya yang tidak menyadari situasi tersenyum lebar.

Aku kemudian menariknya masuk ke kamar mandi, mengamati keadaan dan memastikan jika mereka tak mengintip, lalu melepaskan jaket hitamku dan memaksa Naya melepaskan jaket bebeknya.

"Naya nggak mau pakai jaket Kakak! Warnanya jelek!" protesnya membuatku mendelik padanya.

"Diem!" kataku rendah dengan wajah serius. "Lo diikutin empat cowok. Gue nggak tahu tujuannya apa, tapi yang jelas kita harus ganti jaket. Kebetulan baju kita identik, jadi mereka nggak akan sadar soal baju."

Aku mendesak Naya memakai jaketku, sementara aku mengenakan jaket kuning cerahnya. Wajah Naya yang tadinya cerah berubah ketakutan. Ia kelihatan bingung saat aku memakaikan tudung jaketku ke kepalanya. Senyum lebarnya sudah sepenuhnya lenyap, berganti wajah penuh kepanikan.

"Dengar baik-baik. Lo keluar dari sini, santai aja, jangan lari," kataku sambil memberikan dompetku padanya. "Cari keramaian, telepon papa lo, telepon polisi. Bawa dompet gue buat jaga-jaga, buat dikasih identitas gue ke polisi juga."

Single WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang