Tujuh Belas

25.6K 2.1K 63
                                    

Melosa

Biasanya, aku bisa tenang dan menikmati akhir pekanku. Namun, kali ini berbeda. Mau mengurung diri di kamar, Eryx mungkin akan masuk ke kamarku. Berada di luar kamar, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah melakukan pekerjaan rumah layaknya seorang ibu rumah tangga. Eryx tidak melepaskan matanya dariku selama aku memasak.

Ia akan mencoba untuk membantu, membuatku bicara dengannya dan juga bersikap baik secara terlalu berlebihan. Aku tahu, ia hanya bermaksud ingin memperbaiki kesalahan yang ia buat. Aku juga berusaha untuk memperbaikinya, tetapi tubuhku selalu bereaksi duluan setiap ia mendekat padaku. Entah aku mengerut dan mundur untuk menghindarinya, atau tanpa sadar aku kembali menggumamkan kata "jangan" dan itu akan membuatnya menghela napas berat.

"Tanganmu memar." Eryx memberi tahuku saat aku baru selesai merapikan kamarku.

Ia berdiri di ambang pintu kamarku sambil membawakan kantung es di tangannya. Aku melirik kedua pergelangan tanganku yang memang memar karena semalam. Warnanya hampir sama dengan bekas yang Eryx tinggalkan di dada dan leherku, tetapi bentuknya menyerupai jari.

"Nanti saya obati," sahutku pelan.

Eryx tidak membalas, melangkah mendekatiku yang secara otomatis membuatku melangkah mundur untuk menghindarinya. Karena melakukan hal itu, aku malah jatuh terduduk di atas ranjang. Eryx menatapku lekat dengan ekspresi yang tak bisa kubaca. Ia menunduk untuk meraih tanganku, tetapi pergerakannya membuatku mengerut secara refleks.

Lagi-lagi, tanpa aku sempat menyadarinya tubuhku bereaksi lebih dahulu. Eryx mengatupkan bibirnya, berlutut di depanku seraya mengompres memar di pergelangan tanganku dengan lembut. Kulihat, alisnya bertaut, tampaknya sedang memikirkan sesuatu.

"Saya tidak ingin membuatmu bereaksi seperti ini setiap saya mencoba mendekatimu," katanya pelan.

Aku menelan ludah. Aku juga tidak mau bereaksi seperti ini, tetapi tubuhku bergerak sendiri. Aku menatap pergelangan tanganku dengan tatapan kosong, mencoba untuk tidak menatap wajah Eryx. Melihatnya membuatku seakan kehilangan diriku sendiri.

Aku tidak bisa menjelaskan secara persis bagaimana rasanya. Sakit, sesak, tapi juga diikuti secercah harapan. Juga ada keinginan supaya dicintai olehnya. Aku menggigit bibirku kuat tanpa sadar.

Sentuhan jari Eryx di bibirku membuatku terlonjak dan mau tak mau menatap wajahnya. Kudapati matanya tertuju padaku.

"Bibirmu bisa berdarah kalau digigit terus," tegurnya lembut dan mengusap bibir bawahku dengan ibu jarinya.

Dadaku bergemuruh lagi. Jika tidak mencintaiku, kenapa bersikap seperti ini? Ia membuatku paranoid. Aku tidak tahu apakah kelembutan yang ia tunjukan padaku tulus atau palsu. Semua terlalu abu-abu.

Aku menahan tangannya, menjauhkannya dari bibirku, kembali menghindarinya.

"Jangan menolak, Losa," katanya pelan. "Saya sedang berusaha menjadi lelaki yang mencintaimu."

Tenggorokanku terasa kering dan sakit. Namun, aku membuka mulut untuk membalas ucapannya. "Mencintai seseorang nggak bisa dipaksakan."

Aku menarik tanganku yang ia kompres, meraih kantung esnya tanpa menatap wajahnya lagi. Eryx terdiam, masih berlutut di hadapanku. Aku bisa merasakan tatapannya yang tertuju kepadaku. Rasanya, ia melubangi wajahku dengan tatapannya.

"Tolong biarkan saya sendiri," pintaku masih menunduk. "Saya bisa mengobati tubuh saya."

Eryx tidak membalas. Ia sempat diam selama beberapa saat, sebelum beranjak berdiri dan mengecup keningku. Lalu, ia beranjak pergi dan menutup pintu. Aku dibiarkan sendiri. Akhirnya.

Single WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang