Dua Puluh Empat

38.5K 2.3K 142
                                    

Melosa

"Kamu benar-benar ingin bercerai dari Eryx?"

Aku mengangkat wajahku, menujukan pandangan kepadanya. Saat ini, aku berada di ruang kerjanya. Hanya ada dirinya sendiri karena Eryx sedang menemui Kaia pada jam makan siang ini. Di tangannya, kulihat sebuah amplop dengan logo dari pengadilan. Surat cerai yang kuajukan berada di tangannya selama berminggu-minggu. Ia menahannya, tidak pernah menyerahkannya kepada Eryx walau aku setiap hari meminta tolong kepadanya untuk melepaskan surat cerai itu dan membiarkan Eryx melihatnya.

"Ya," kataku rendah menatap ujung sepatuku.

Yudi menghela napas. "Masalah besar apa yang kalian hadapi sampai kamu mau menceraikannya?"

Aku menelan ludah. "Bapak tidak perlu tahu. Yang jelas, saya mau menceraikannya."

Aku beranjak bangkit dari sofa yang kududuki, sedikit sempoyongan karena kepalaku sedikit pusing dan tubuhku lemas. Yudi menatapku dengan alis bertaut.

"Kamu tidak bisa melakukan ini tanpa memberi tahu alasannya, Melosa," desisnya membuatku tersenyum sinis.

"Lalu, apa alasan Bapak menikahkan saya dengan Eryx? Saya sudah menolak pernikahan ini, tetapi kalian berdua memaksakan pernikahan ini!"

"Saya menyerahkanmu kepada lelaki terbaik yang saya tahu."

Aku tertawa pedih, menatap Yudi dengan mata buram. "Lelaki terbaik? Lelaki terbaik itu sama sekali tidak bersikap baik pada saya. Apa Bapak tahu setiap malam saya selalu menangisinya karena ia tidak mencintai saya? Ia mencintai perempuan lain yang saya kenal. Bahkan walau saya mencintainya, saya tidak tega membuatnya membuang paksa perasaannya itu. Karena saya sangat mencintainya sampai tidak mau membebani hatinya. Apa Bapak tahu betapa sesak saya melihat wajah suami yang saya sendiri?"

Aku menghentikan ucapanku, terisak pelan di hadapan Yudi. Ia terdiam, mengatupkan bibirnya rapat, seolah membiarkanku menangis dan menunggu ucapanku selanjutnya.

"Saya memang menandatangani kontrak yang mengikat hidup saya menjadi milik Bapak, tetapi apa harus saya disiksa seperti ini?" tanyaku lagi dengan suara tercekat. "Daripada menyiksa saya begini, kenapa tidak sekalian bunuh saja saya?"

"Saya melakukan ini untuk kebaikanmu," ujarnya pelan.

"Saya tidak merasakan kebaikan apa pun," lirihku, menarik napas dalam-dalam dan mengusap air mataku. "Tolong. Saya mohon, tolong, berikan saja surat cerai itu pada Eryx dan biarkan saya lepas dari semua ini."

"Saya tidak tahu jika kamu-"

"Saya akan memaafkan Bapak, jika surat itu sudah sampai pada Eryx." Aku menelan kembali isakanku, mencoba bicara dengan nada datar yang malah terdengar sangat menyedihkan. "Saya minta maaf atas sikap saya barusan. Permisi."

Aku melangkah keluar dari ruangan direktur utama, berusaha keras memasang wajah datarku sepanjang jalan menuju ruang Jeff lagi. Sampai kapan aku harus begini? Aku menarik napas panjang, masuk ke dalam ruangan Jeff yang kosong. Ah, tidak. Ada Eryx di sana.

Ia berdiri di depan mejaku, berbalik saat menyadari kedatanganku. Aku menatapnya datar.

"Ada keperluan apa?" tanyaku, melangkah masuk ke dalam dan membiarkan pintu tertutup.

Single WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang