Melosa
Aku melihat mama. Ia sedang memotong sayuran di dapur kontrakan kami yang kecil. Rambut hitamnya sebahunya yang dikuncir satu kelihatan tebal, tidak seperti sewaktu aku melihatnya di rumah sakit. Ia mengenakan terusan dengan dasar putih, bermotif bunga lavender. Mama suka bunga lavender.
Kulihat ia berbalik kepadaku. Matanya yang cantik dengan lipatan kelopak mata yang sempurna sedikit membelalak ketika melihatku. Ia mendekat, membuatku lagi-lagi memperhatikan fitu wajahnya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang kecil tapi penuh, pipi tirusnya yang biasa pucat, tetapi kali ini merona dan aroma sabun mandi yang biasa ia kenakan.
"Kamu kenapa? Kok luka-luka begini?" tanyanya khawatir, berlutut sambil menggenggam tanganku.
Aku mengerutkan kening, menatap kedua tanganku yang ukurannya terasa lebih kecil. Aku mengerjap, menyadari jika tubuhku menyusut. Aku ingat, mama tidak perlu berjongkok untuk memelukku. Sekarang, ia malah harus berlutut supaya bisa mensejajarkan matanya dengan mataku.
"Losa nolongin Naya," jawabku.
Mama menatapku dengan wajah yang tampak terkejut, sesaat kemudian tersenyum dan mengelus rambutku.
"Naya?"
"Naya. Anaknya Papa yang lain."
Senyum lembut masih terpatri di wajah mama. Tangannya yang membelai lembut rambutku terasa hangat. Lalu, tangannya turun menuju pipiku dan mencubitnya ringan.
"Kerja bagus, Losa," katanya terdengar bangga. "Mama tahu kamu pasti jadi orang baik."
Orang baik. Seperti apa definisi orang baik itu? Aku menatap wajah mama yang perlahan memudar senyumnya. "Tapi, jangan menyakiti badanmu kayak gini lagi, ya?"
Aku menatap tanganku yang kelihatan kecil, melirik pakaianku. Aku mengenakan terusan warna kuning cerah dengan motif bebek, mirip seperti jaket milik Naya. Kulihat terusanku tampak kotor dengan tanah dan darah. Aku mendongak menatap mama lagi.
"Aku nggak merasa sakit, kok, Ma," ujarku.
Mama meneteskan air mata, membuatku mengulurkan tangan untuk mengusap wajahnya lembut. Tatapannya yang tertuju padaku kelihatan bangga, tetapi juga sedih. Ia memeluk tubuhku erat. Hangat. Nyaman pula. Aku membalas pelukan mama dengan senyum bahagia.
"Kamu sudah jadi anak hebat, Losa. Jangan menyerah. Kamu adalah kebanggaan Mama."
Kebanggaan mama. Senyumku melebar. Aku tahu. Mama selalu bangga padaku. Entah saat aku mendapat bintang lima untuk gambarku semasa TK, atau saat aku berhasil menyabet juara umum sekolah untuk nilai tertinggi. Aku mengeratkan pelukanku pada mama.
Namun, mama kemudian melepaskan pelukanku dan melangkah mundur. Aku menatap wajahnya yang seolah semakin memudar.
"Mama?"
Ia memberiku senyum tipis.
"Kamu harus tetap kuat, Losa. Mama sayang kamu."
Aku membeku. Aku selalu kuat, mama tahu itu. Kenapa ia mengucapkannya seolah ia akan berpisah dariku? Aku mencoba melangkah maju untuk meraih tangan mama, tetapi kakiku seolah terpaku di tempatku berpijak. Aku tidak bisa melangkah maju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Wife
RomanceBagi Melosa Helga, Eryx Baskara adalah rumah yang tak akan pernah ia miliki seutuhnya. Lelaki itu hanya akan menjadi angan, kasih tak sampai, lelaki yang tak akan bisa Melosa gapai hatinya. Namun, Melosa yang telanjur menambatkan hatinya, tak bisa m...