Dua Puluh Lima

38.9K 2.4K 137
                                    

Melosa

Aku menelan morning after pill untuk yang kedua kalinya, mengatupkan bibirku rapat dan kembali menatap layar komputer. Eryx tidak melepaskanku sama sekali. Ia kembali mengemasi pakaianku, bersiap membawaku kembali ke rumah dan memaksaku supaya tidak bekerja hari ini. Namun, aku tetap berangkat ke kantor, satu jam setelah ia meninggalkan apartemenku pagi ini.

Tubuhku masih sakit. Setiap aku berjalan, selangkanganku langsung perih. Aku tetap menguatkan diri, bekerja seperti biasanya. Sudah hampir jam makan siang saat aku tiba di kantor. Jeff pun terkejut saat melihatku muncul di ruangannya, padahal Eryx sudah memberi tahu padanya jika aku tidak akan masuk untuk bekerja karena sakit.

"Lo beneran nggak apa-apa, Sa?" tanya Jeff membuatku meliriknya. Sudah dua kali ia menanyakan hal yang sama.

"Gue belum mati, nggak usah khawatir," ketusku.

Jeff menghela napas. "Jangan maksain diri, Sa."

Aku tidak menyahut. Aku tidak memaksakan diri, keadaan yang memaksaku. Aku memasang wajah datar, walau sebenarnya aku ingin mati. Dengan seluruh tubuh sakit dan hati yang hancur, bernapas saja rasanya tidak ada niat. Namun, aku hanya bisa menahan semuanya sendiri.

"Papa mau ketemu sama lo," kata Jeff membuatku melirik padanya.

Aku beranjak bangkit tanpa menjawabnya, merasakan perih di selangkanganku dan keram di perutku. Aku bisa paham soal perih di selangkanganku, tetapi keram perut yang kualami terasa aneh. Apa karena aku akan menstruasi? Aku menemukan bercak-bercak darah di celana dalamku tadi pagi, menyadari jika menstruasiku akhirnya tiba setelah bulan lalu tidak menstruasi.

Aku mengernyit menahan nyeri, berjalan menuju ruang direktur utama untuk menemui Yudi. Kudapati sosok Yudi dan Eryx di sana. Eryx menatapku, antara marah dan khawatir, yang kuabaikan sepenuhnya. Aku berjalan menuju sofa untuk duduk, masih dengan bibir terkatup. Saat aku mencoba untuk duduk, seluruh tubuhku langsung lemas dan tiba-tiba saja, ruangan direktur utama menjadi terlalu terang. Cahaya putih serasa membutakan mataku selama beberapa saat, sampai ketika aku kembali bisa melihat lagi, aku menemukan tubuhku terbaring lemas di ranjang rumah sakit dengan infus di tanganku.

Apa yang terjadi? Aku pingsan?

Aku melirik sekitar, menemukan seorang suster yang menatapku dan tersenyum hangat. "Ibu masih pusing? Atau ada keluhan lain?"

Keningku berkerut, sementara mataku melirik infus di tanganku. Aku beranjak bangun, merasakan tubuhku lemas. Namun, Suster yang kulihat membantuku. "Saya kenapa, Sus?"

"Ibu pingsan tadi. Kecapean," jawabnya. "Untung janinnya nggak apa-apa."

"Ja-janin?" Aku menatapnya terkejut. "Janin siapa?"

Suster itu tersenyum hangat lagi. "Janinnya Ibu. Sudah enam minggu."

Enam minggu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Tanganku mendingin. Aku menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa ada janin di perutku?

"Aktivitas seksual dengan suaminya boleh dikurangi dulu ya, Bu, untuk sementara waktu. Kandungan Ibu lemah soalnya," katanya lagi.

"Ta-tapi, kenapa saya hamil, Sus?" tanyaku dengan suara bergetar. "Saya ... saya sudah minum morning after pill, tadi pagi juga saya minum itu. Sa-saya masih datang bulan, Sus."

Single WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang