Tiga Puluh Satu

37.5K 2.2K 72
                                    

Melosa

Aku lebih sering bertemu dengan Kaia setelah hari itu. Ia akan datang ke ruangan Jeff, membawa buah kiwi, kadang membawakan kue yang ia buat sendiri. Seringnya, kue buatan Kaia terasa tidak enak. Kadang terlalu keras, kadang terlalu manai, kadang malah tidak ada rasanya. Namun, aku tetap menghargai pemberiannya, menghabiskannya dengan tersenyum sambil berterima kasih. Setiap aku melakukannya, ia akan tersenyum senang setelah memasang wajah cemberut berjam-jam akibat diledek Jeff karena kue buatannya yang tak enak.

Siang itu, Jeff dan Kaia pergi makan siang berdua, sekaligus mencari cincin dan mengepas gaun untuk foto pre-wed mereka. Fotonya akan dilakukan akhir pekan ini, di ladang bunga dandelion yang bunganya sedang mekar dengan cantik. Kaia mengajakku, setengah memaksaku ikut. Katanya, supaya aku bisa sekalian jalan-jalan. Tentu saja dilarang Jeff, karena menurutnya aku akan kelelahan mengikuti mereka. Namun, aku memutuskan untuk mengiyakan ajakan Kaia. Lagi pula, yang berfoto kan mereka, bukan aku.

Aku bersenandung pelan sambil, mengupas buah sawo yang diberikan oleh Alda. Katanya, sekarang sedang musim buah sawo. Aku mendengar pintu pantry terbuka, membuatku menoleh dan mendapati Eryx yang masuk ke dalam. Ia mendekatiku yang sedang memegang pisau.

"Mau sawo?" tawarku sambil menatapnya.

Eryx menggeleng, meraih pisau yang kugunakan dan sedikit menggeser posisiku supaya digantikan olehnya. "Kamu duduk sana, biar saya yang kupas."

"Nggak mau, ah. Mau di sini aja," sahutku, berdiri di sebelahnya sambil mengamatinya yang mengupas sawo. "Kamu ke sini mulu, bolos kerja, ya?"

"Pak Yudi lagi di luar sama yang lain. Kebetulan, kerjaan saya juga udah beres," jawabnya tanpa menatapku. "Kamu juga ngapain di pantry mulu? Nggak diomelin Jeff?"

"Yang ada juga, saya yang ngomelin dia," dengkusku.

Eryx tertawa. Aku masih mengamatinya yang mengupas sawo, terperanjat saat melihatnya tanpa sengaja menyayat jarinya. Aku langsung menjauhkan pisau dari tangannya, menatapnya dengan mata membulat.

"Nggak apa-apa, kecil sayatannya," kata Eryx membuatku mengerutkan kening.

"Apaan!" omelku. "Dibersihin dulu! Saya cari plester sebentar."

"Nggak apa-apa, Losa," kata Eryx yang kuabaikan.

Aku beranjak menuju kotak P3K, kembali mendekatinya yang dengan santai mencuci tangannya yang terluka dan mengupas sawo kembali. Ia memotongnya dengan hati-hati, meletakkannya di piring dan tersenyum padaku.

"Udah selesai," katanya membuatku menatapnya dengan kening berkerut.

Ia meletakkan piring ke meja, menarik kursi dan mengisyaratkan aku supaya duduk di kursi yang ia tarik. Aku mendekatinya dengan cemberut. Rasanya kesal sekali melihatnya yang kelihatan serampangan merawat lukanya. Memang luka kecil, tapi tetap sakit, 'kan?

Eryx tersenyum geli melihatku yang cemberut, meraih plester luka yang kubawa. Ia mengeringkan tangannya dan menempelkan plester ke luka di jari telunjuknya. Aku masih mengamatinya, tidak menyentuh buah sawo yang ia kupaskan untukku. Ia masih bisa tersenyum padaku setelah selesai menempelkan luka di jarinya.

"Kok nggak dimakan?" tanyanya yang kubalas dengan dengkusan kesal, melengos sambil menyuapkan sawo ke mulut. "Marah ya?"

Mungkin. Tidak tahu. Aku merasa kesal sekali melihat Eryx. Tiba-tiba saja begitu. Padahal, dia terluka karena mengupaskan sawo buatku. Entah kenapa, hatiku jadi kesal.

Single WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang