Prolog

6K 381 77
                                    

Ini cuma mau cek ombak aja ya, gak untuk update sekarang. Pengen lihat dulu apakah genre seperti ini banyak peminatnya.

Boleh minta vote dan komennya kalau kalian suka.

***

Malam ini, Launa sangat bahagia. Dia sedang menunggu suaminya di kamar pengantin. Tepat beberapa jam yang lalu, dia dinikahi oleh cucu tertua Allister, salah satu orang terkaya yang memiliki kerajaan bisnis properti kelas atas. Dia bahkan tidak pernah bermimpi bisa memiliki suami sesempurna ini, namun Tuhan memilihnya di antara lautan wanita yang berlomba mengincar posisinya.

Bukan karena Launa lebih cantik di antara wanita lainnya.

Bukan karena keluarga Launa berasal dari kalangan yang setara.

Melainkan karena sebuah janji yang harus ditepati.

Meski belum saling mencintai, Launa percaya seiring berjalannya waktu cinta akan datang dengan sendirinya. Dia hanya perlu melayani suaminya dengan baik, memberikan perhatian sepenuh hati dan senantiasa menjaga kehormatan sebagai istri. Tiga kunci yang selalu diajarkan oleh sang Kakek bila ingin rumah tangga harmonis.

Launa melirik jam di dinding, sudah pukul sepuluh malam. Dia bukannya tidak sabar untuk malam pertama, hanya saja ingin segera melihat wajah suaminya lebih lama. Tadi, resepsinya terlalu menyita waktu, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengobrol.

Saat membayangkan wajah tampan suaminya ketika mengucapkan janji suci pernikahan tadi, dia tersenyum. Itu momen pertama kalinya mereka bertemu, setelah selama ini hanya melihat fotonya saja.

Memang tidak ada pendekatan atau istilah zaman sekarang, pacaran. Iya, tidak ada. Namun, kata Rara sahabat baik Launa, orang kaya mana punya waktu untuk pacar-pacaran. Kalau sudah merasa cocok, ya langsung saja menikah. Pacarannya nanti setelah menikah.

Launa tersenyum geli.

Tok. Tok. Tok.

Tidak lama setelah pintu diketuk, seorang wanita berpakaian pelayan masuk ke kamar itu membawakan segelas susu putih. "Silakan diminum Nyonya," ucapnya sangat sopan.

"Terima kasih." Launa tidak terbiasa dilayani seperti ini, namun harus terbiasa.

"Nyonya membutuhkan sesuatu?"

"Tidak, terima kasih." Launa menggeleng.

"Baik. Kalau nanti butuh apa-apa, bisa panggil saya Misnah. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Misnah.

Saat mendengar suara kucing, Launa mencarinya. Anabul menggemaskan itu bersembunyi di bawah ranjang, mungkin tadi diam-diam masuk saat Misnah datang. "Hai pus, sini jangan takut," panggilnya.

Bagai tahu Launa tidak akan menyakitinya, kucing itu mendekat dan langsung berbaring manja minta dielus. Launa yang sangat menyukai kucing pun lantas tertawa gembira.

"Kau tau, kau satu-satunya temanku di sini. Aku merasa semua orang bersikap dingin padaku, tapi mungkin orang-orang kaya memang begitu ya?" Launa menggaruk leher kucing itu.

Kucing itu mengeong dengan suara serak.

"Kau lapar?" Launa merasa kasihan. Perut kucing itu menggelambir, pasti karena lapar. "Tapi di sini tidak ada makanan untukmu."

Kucing itu mengeong lagi.

"Eh iya, ada susu. Kau mau?" Launa langsung mengambil susu yang tadi diberikan oleh Misnah. Dia menuang susu itu ke lantai sedikit demi sedikit karena memang tidak ada wadah. "Ini susunya kita bagi dua ya, karena aku juga mau."

Kucing itu langsung menjilati susu di lantai dengan lahap. Saat habis dia mendongak sembari mengeong minta diberi lagi, Launa pun tidak tega dan memberinya lagi.

Love, Money and RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang