Bab 7. Rebecca

786 85 5
                                    

Satu lagi anggota keluarga Allister yang akhirnya muncul, yaitu Rebecca. Dia adalah putri satu-satunya William dan Abigail yang baru saja kembali dari study-nya di London. Launa tidak menargetkan gadis ini lantaran masih di bawah umur dan pada malam itu Rebecca sedang menjalani study-nya.

"Axton, nice to meet you!" Saat tahu Axton ada di sana, Rebecca dengan cepat berlari memeluknya.

"Study-mu sudah selesai gadis kecil?" Saat memperlakukan Rebecca, Axton tampak sangat tulus.

"Finally, aku terbebas dari penjara. Sekarang, aku bukan gadis kecil lagi." Rebecca menekan pinggang.

Axton tertawa.

"Becca, apa kau hanya senang saat melihat dia? Tidakkah kau melihat kami semua ada di sini?" tegur Abigail geram. Saat sebagai ibu dia teramat merindukan putrinya, tapi sang putri malah lebih dulu menyapa orang lain.

"Kalian yang mengirimkan ke sana," erang Rebecca. Dia tampak tidak acuh pada keluarganya. Ekspresinya lebih ceria saat melihat Launa. "Kau pasti Launa? Bidadari yang akhirnya turun dari langit setelah menghilang tiga tahun itu, bukan?"

"Becca!" sentak Nensi.

Rebecca cuek saja.

"Siapa yang mengatakan itu padamu? Sepertinya orang itu sangat konyol," tanya Launa terkekeh.

"Dia." Rebecca menunjuk Axton.

Axton melotot.

Rebecca tercengir. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu kakak ipar." Dia memeluk Launa dan berbisik, "aku harap kau berbeda dengan mereka."

Launa tertawa geli.

"Ayolah, aku bosan di sini. Kalau saja mereka tidak menjemputku paksa," desah Rebecca menyindir.

"Bagaimana bisa kelakuanmu tetap tidak berubah meski sudah tinggal di asrama selama lima tahun!" geram Nensi.

Rebecca memandang Nensi dengan berani. "Sekalipun kalian mengirimku ke penjara, aku tidak akan berubah," ucapnya tegas dan berapi-api.

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Rebecca. Abigail yang melakukannya. "Jaga sopan santunmu di depan orang yang lebih tua, Rebecca. Terlebih di depan grandma," desisnya marah.

Rebecca tersenyum geli. "Kelurga ini juga tidak berubah," ejeknya. Dia lalu pergi dari sana menuju ke kamarnya.

"Akhirnya, aku punya seorang teman. Kalian pasti khawatir." Axton tertawa geli sembari melenggang pergi.

Launa melengos saat Axton memberi kedipan mata.

"Sudah kubilang, nikahkan saja dia. Sekarang lihat kelakuannya, makin liar." Agatha menyalahkan William dan Abigail yang tidak mengikuti sarannya.

"Kalian berdua harus banyak belajar dari Agatha cara mendidik anak agar tumbuh sempurna seperti Andreas," ucap Nensi ikut menyalahkan.

Abigail menatap Agatha sinis, sebagai sesama menantu di keluarga inu dia merasa iri pada Agatha yang selalu disanjung oleh Ibu mertua mereka. Dia juga merasa sangat sial karena punya suami yang tidak tegas, lebih banyak dirinya yang berperan. Andai dulu dia menikahnya dengan anak tertua di keluarga ini, yaitu Ayahnya Andreas, pasti posisinya akan lebih dihormati.

Launa mengamati setiap gerak-gerik dan ekspresi setiap orang. Dia mulai bisa menangkap adanya persaingan besar antara Agatha dan Abigail, tapi dalam hal ini Nensi lebih berpihak pada Agatha. Dia senang mendapati kelemahan keluarga ini.

"Kau harus beristirahat, aku antar ke kamarmu," ajak Andreas sembari merangkul Launa.

Launa tersenyum dan menurut.

***

Setelah memastikan Launa meminum obatnya, Andreas pun merasa senang. Dia sepertinya sangat menunggu efek dari obat yang diminum Launa sejak beberapa hari ini. Sayangnya, obat itu tidak akan memberikan efek apapun, karena Launa sudah menukarnya dengan vitamin.

"Selamat tidur." Andreas mencium kening Launa.

Launa tersenyum. "Selama tidur juga, Andreas." Dia membuat pria itu menatapnya cukup lama. Cepat atau lambat, aku yakin kau akan tergoda padaku Andreas.

Andreas dengan cepat memalingkan wajah. Dia bergegas pergi dari sana, berusaha kuat memasang perisai agar tidak jatuh pada pesona Launa. Dulu, dia tidak punya waktu untuk melihat betapa cantiknya istrinya, karena hati dan pikirannya hanya diliputi oleh rencana-rencana jahat.

"Kau tenang saja, aku menaruhmu di urutan terakhir dalam rencanaku. Jadi tidak perlu terburu-buru tergoda padaku, Andreas." Launa tertawa.

Beberapa saat setelah Andreas pergi, pintu kamar itu kembali dibuka oleh seseorang.

"Hai Kakak ipar, aku boleh masuk?" Rebecca memasukkan kepalanya lebih dulu untuk melihat-lihat situasi.

"Hei, masuklah!" Launa lantas duduk dan tersenyum pada Rebecca.

Rebecca langsung masuk ke kamar itu setelah menutup pintu. "Tidak ada siapapun di sini?" tanyanya waspada.

Launa menggeleng."Ada apa?" tanyanya senyum yang hangat.

"Aku akan pergi ke kelab. Kau mau ikut?" ajak Rebecca.

"Kelab?" Launa tidak menyangka bila Rebecca ternyata serius ingin pergi ke kelab. "Aku tidak suka tempat seperti itu," tolaknya. "Lagi pula, memangnya kau diizinkan ke luar?"

"Diizinkan atau tidak, aku tetap akan pergi." Rebecca terkekeh. "Kau sungguh tidak mau ikut? Kau akan senang berada di sana."

"Tidak Becca. Aku tidak punya keberanian sepertimu, Andreas pasti akan marah," tolak Launa.

Rebecca mengesah. "Baiklah, aku tidak bisa memaksa kalau kau tidak mau. Andreas memang menakutkan, dia terlalu serius," cebiknya.

Launa tertawa kecil mendengarnya. "Bersenang-senanglah," suruhnya.

Seharusnya, Launa melarang Rebecca karena tidak baik pergi larut malam seperti ini, ditambah lagi ke kelab. Akan tetapi ini cukup menyenangkan bila nanti Abigail tahu putrinya sudah menyelinap ke luar.

"Baiklah, aku pergi kalau begitu. Jaga rahasia ini, oke?" Rebecca memberi kedipan.

Launa mengangguk.

Dia mendapatkan ide yang menarik setelah kepergian Rebecca. Hal ini tentu saja membutuhkan bantuan seseorang. Senyum di bibirnya adalah pertanda kalau idenya ini pasti akan berhasil.

***

Seperti yang Launa inginkan, Abigail murka saat mengetahui Rebecca pergi diam-diam dan belum juga kembali hingga pagi. Gara-gara itu, Nensi jadi memarahi Abigail habis-habisan. Ini sangat menarik dijadikan tontonan di pagi hari.

"Sebagai orang tua, harusnya kalian lebih memperhatikan Rebecca! Dia itu seorang gadis, nanti apa yang akan dikatakan oleh orang-orang?!" Nensi membentak William dan Abigail.

Pasangan suami istri itu menunduk dalam-dalam, tidak berani mendebat Nensi. Abigail berkali-kali menyikut suaminya agar bicara, namun pria itu memang sangat pengecut.

"Grandma tenang saja, orang-orang suruhanku sudah menemukan Becca. Mereka sedang dalam perjalanan membawanya pulang," beritahu Andreas setelah menelepon. "Mereka bilang Becca mabuk sehingga tidak bisa pulang."

Mata William dan Abigail melotot, itu membuat mereka makin malu.

"Ibu, aku takut sekali membayangkan orang-orang mengetahui kalau anak gadis di keluarga ini mabuk-mabukan di sebuah club. Bagaimana bila media meliputnya? Bukankah itu bisa merusak citra baik keluarga kita?" Agatha mengompori.

Abigail menatap Agatha berapi-api. Dasar wanita ular, kau pasti senang sekali bisa menjatuhkanku, bukan?

"Aku akan menjodohkan Becca dengan pria yang pantas, sekarang tugas kalian adalah memastikan dia menerima perjodohan ini?" ucap Nensi pada William dan Abigail.

"Baik Ibu," jawab William dan Abigail pasrah, sekaligus juga senang bila Rebecca memang bisa mendapatkan pria yang sepadan.

Launa tersenyum samar. Kalian tidak akan berhasil menjodohkan Rebecca dengan pria manapun, lihat saja kalian akan melihat kejutanku nanti.

***

Love, Money and RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang