Bab 5. Baru Dimulai

1K 114 20
                                    

Kalau aku lanjut update ini sampai tamat, kira-kira bakal rame gak, ya?

Coba suaranya yang mau baca ...

***

Andreas segera turun ke bawah, pergi ke kamar Nensi karena kehadirannya sudah ditunggu. Semua orang terlihat resah, kembalinya Launa seperti akar dari mimpi buruk yang membelit tubuh mereka. Akar ini terlalu keras, sehingga sulit untuk mematahkannya. Selama belum terbebas, mereka akan selalu merasa dihantui.

"Dia sudah tidur?" tanya Agatha.

"Bagaimana aku bisa membuatnya tidur, kalau dia saja tidak bisa diam." Andreas merasa kesal. Dia duduk di sofa, menuang minuman dan dengan sekali teguk menghabiskannya.

"Ibu, sebaiknya kita melenyapkan dia sekarang. Kali ini, kita potong semua bagian tubuhnya," usul Abigail.

"Tidak bisa. Media sedang menyorot keluarga kita atas kembalinya Launa. Bila tiba-tiba dia menghilang lagi atau tewas, semua orang akan curiga pada kita." Nensi berkata dengan serius.

"Lalu, sampai kapan kita harus terus berpura-pura baik dengannya, Ibu?" tanya William.

"Benar, aku tidak bisa. Setiap kali melihat wajahnya, rasanya aku ingin mencekiknya," timpal Abigail berapi-api.

"Kalian berdua harus bisa menahan diri!" sergah Nensi.

William dan Abigail langsung tutup mulut dan menunduk takut.

"Masalah ini harus kita selesaikan dengan hati-hati, jangan gegabah lagi seperti dulu." Nensi kembali serius. "Kita tidak perlu merasa takut, Launa tidak mengingat semuanya. Sekarang yang harus kita lakukan adalah tetap berpura-pura semuanya baik-baik saja, agar dia mempercayai kita."

"Bagaimana kalau ingatannya tiba-tiba kembali Ibu? Bukankah itu akan sangat berbahaya?" tanya Agatha.

"Itu yang harus kita cegah!" tegas Nensi.

"Caranya grandma?" tanya Andreas.

"Tukar semua obat-obatan yang telah diberikan oleh dokter, dengan obat lain. Kita harus membuat kondisinya pelan-pelan memburuk, agar semua orang tidak menaruh curiga. Jadi, bila nanti Launa meninggal, orang-orang akan mengira itu karena dia memang sudah sakit sejak lama."

"Maksud grandma, sama seperti saat kita menukar obat kakek Launa?" tanya Andreas memastikan.

Nensi mengangguk. "Bukankah itu berhasil? Pria tua itu mati perlahan dan semua orang mengira itu karena dia depresi atas kehilangan Launa," jawabnya.

William bertepuk tangan. "Luar biasa, Ibu. Ibu memang sangat pintar dalam hal ini," pujinya kagum.

Abigail tersenyum senang.

"Kalau begitu, besok aku akan minta obat yang sama dari dokter Tom. Bila perlu, dosis yang lebih tinggi," ucap Agatha.

Nensi dan yang lainnya mengangguk.

"Kalian baik-baiklah padanya sampai waktu yang kita nantikan itu tiba. Dia tidak boleh dekat dengan orang lain, karena bisa berbahaya," ucap Nensi memperingatkan.

"Baiklah Ibu, aku akan berusaha." Abigail mengesah dengan terpaksa.

"Aku akan jarang bertemu dengannya karena harus pergi ke kantor setiap hari. Setidaknya, aku tidak perlu merasa kesulitan." William tampak cukup senang. Istrinya dengan cepat menyikut dan cemberut padanya.

"Andreas, kembalilah ke kamar. Dia bisa curiga bila kau terlalu lama di sini," suruh Nensi.

"Tenang saja grandma, dia sudah mengusirku dari kamar itu." Andreas mengesah.

Love, Money and RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang