Bab 21. William and Abigail, Done.

451 82 4
                                    

Kemalangan nampaknya telah berada di pihak Abigail, sebab sejak malam itu dia tidak pernah terlihat lagi. Baik Nensi ataupun Agatha, keduanya tak pernah menyebut nama Abigail lagi di rumah ini seolah-olah wanita itu tidak pernah ada. Sedangkan William sendiri juga mulai jarang pulang ke rumah, sibuk bersenang-senang dengan Jennie.

Nensi menoleh setiap kursi yang tak lagi diduduki oleh pemiliknya. Salah satu kursi kosong itu biasa diduduki oleh Isabel, putri bungsunya yang masih mengalami gangguan jiwa. Kursi kosong lain harusnya ditempati oleh Rebecca, William dan Abigail. Keberadaan Launa dan Axton tidak Ia hitung.

"Ibu kenapa tidak makan?" tanya Agatha.

"Aku tidak selera makan," ucap Nensi. Dia meletakkan sendok dan garpu, lalu berdiri.

Mau tak mau, Agatha ikut berdiri dan mendorong kursi roda Nensi. Tersisa Launa dan Axton berdua saja di meja makan itu.

"Dia pasti sangat terguncang, karena akhir-akhir ini masalah datang tanpa henti," ucap Axton begitu puas. Sudah beberapa hari ini dia tidak membuat ulah, sengaja bertingkah seolah tidak terlihat.

"Ini belum apa-apa. Dia harus tetap sehat untuk menderita lebih banyak lagi," timpal Launa.

"Nanti malam?" Axton menaikkan satu alisnya.

"No, itu terlalu lama." Launa tersenyum miring.

Tak lama setelah Launa bicara, suara William terdengar memanggil Nensi dengan lantang. Pria itu terlihat kusut dan amburadul, pasti karena terlalu banyak minum.

"Ibu, di mana kau?!" teriak William.

"Mana Ibu?" tanya William begitu melihat Launa dan Axton.

Nensi pun datang bersama Agatha. "Ada apa kau berteriak? Apa tingkah Abigail sudah menular padamu?" tanyanya marah.

"Ibu ..." William berlutut di depan kaki Nensi. "Ibu, kumohon serahkan jabatan tertinggi di perusahaan padaku."

"Apa maksudmu, Will?" tanya Agatha tidak terima. Sudah jelas jabatan itu sedang dipegang oleh putranya dan siapapun tidak akan Ia izinkan untuk merebutnya.

"Ibu, aku ini anakmu, kan? Setelah Kak George wafat, harusnya posisi itu diserahkan padaku." William tidak menghiraukan Agatha.

"Apa kau mabuk? Kenapa bicaramu melantur?" Nensi tidak begitu menanggapi. "Tidurlah dulu, Kau terlihat sangat kacau."

"Aku serius, Ibu!" William membentak Nensi. "Berikan jabatan itu padaku!"

Nensi dan Agatha sangat terkejut.

"Kau berani bicara keras pada Ibu? Siapa yang mengajarimu?" Nensi tak terima dan melotot pada William.

"Aku lelah dianggap tidak berguna, Ibu! Selama ini aku selalu diam saat Ibu lebih membanggakan George dan merendahkan aku. Tapi kali ini aku tidak akan tinggal diam lagi, aku mau hakku!" William benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya, dia terus mendesak ibunya.

"Ibu, jangan dengarkan dia." Agatha tidak ingin Nensi terpengaruh.

"Itu karena kau memang tidak becus, William! Kau itu anak tidak berguna, bisanya hanya merengek saja." Nensi bicara tanpa memikirkan perasaan William.

Merasa makin terhina, William lalu mengeluarkan pistol dari pinggang dan menodongkan itu pada Nensi. Suasana pun menjadi tegang, Agatha menjerit histeris.

"Apa yang kau lakukan, Will? Apa kau sudah gila? Kau menodongkan pistol pada ibumu sendiri," ucap Agatha begitu takut.

Axton membawa Launa menjauh agar tidak terkena peluru nyasar.

Nensi pun gentar dibuatnya. "William, turunkan pistol itu sayang. Kita bisa bicarakan ini baik-baik," bujuknya. "Kau mau jabatan itu? Akan ibu kabulkan, tapi berikan dulu pistol itu pada Ibu." Dia menadahkan tangan dengan ekspresi membujuk.

"Sungguh?" William terpancing. Dia mendekat, namun pistolnya tetap mengarah pada Nensi.

"Sungguh. Kau satu-satunya putraku yang masih tersisa, mana mungkin aku tidak memberikan jabatan itu padamu," ucap Nensi seolah-olah serius.

William tersenyum.

"Tidak Ibu!" jerit Agatha, merusak segalanya. "Mana bisa Ibu memberikan jabatan sepenting itu pada William yang tidak punya keahlian apa-apa."

Nensi memberi kode pada Agatha, namun sayangnya William melihat itu dan sontak saja marah. Dia merasa dipermainkan. "Ibu ingin menipuku?" Dia kembali menodongkan pistol, kali ini pada Agatha juga secara bergantian.

Nensi dan Agatha menjerit histeris.

"Axton, lakukan sesuatu. Kenapa kau hanya diam?!" sergah Nensi.

William lalu memutar tubuh dan mengarahkan pistol pada Axton. Dia mencari posisi aman agar tidak lengah. "Jangan ikut campur atau aku akan membunuhmu," ancamnya.

Axton mengangkat kedua tangan seolah-olah takut.

"Will," bujuk Nensi kembali.

Pistol itu kembali mengarah pada Nensi.

"Kenapa kau sangat menginginkan jabatan itu? Bukankah selama ini kau tidak peduli, sayang?" tanya Nensi mencoba mengulur waktu. Dia yakin pekerja di rumah ini sudah menelepon keamanan.

"Jennie tidak mau menikah denganku kalau aku tidak menempati posisi tertinggi di perusahaan. Aku sangat mencintainya, Ibu. Dia berbeda dari semua gadis yang pernah aku kenal." William mulai bercerita.

"Wanita itu pasti sudah membodohimu, Will. Dia hanya ingin harta keluarga kita," ucap Agatha.

"Jangan bicara buruk tentangnya!" William menodongkan pistol pada Agatha dan benar-benar ingin menembaknya.

DOR!

Nensi menjerit histeris.

Beberapa detik kemudian, William tumbang. Kepalanya mengeluarkan banyak darah, di ditembak seseorang dari belakang hingga tembus ke keningnya. Matanya terbuka lebar, namun sudah tidak bergerak lagi.

Jeritan Nensi makin menjadi-jadi, bagaimanapun William itu putranya. Dia nekat turun dari kursi roda untuk memeluk putranya. Tangisnya pecah, membahana di kediaman nan megah itu.

Agatha membeku bagai patung dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Dia pasti sangat terkejut.

Semua menoleh ke belakang dan mendapati Andreas berdiri dengan pistol yang masih mengarah ke depan. Wajahnya diliputi kemarahan hingga dadanya yang bidang itu naik turun.

Andreas mendekati Ibunya, langsung memeluknya dengan erat. "Ibu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.

"Ini yang kau maksud dengan kita tidak perlu mengotori tangan kita untuk membalas mereka?" tanya Axton berbisik.

Launa tersenyum, sama sekali tidak merasa bersalah meski semua ini ada kaitannya dengan rencananya. Seperti sumpahnya pada mendiang sang kakek dan Laura, dia akan membalas satu persatu mereka semua.

"Siapa targetmu selanjutnya?" tanya Axton lagi.

Mata Launa mengarah pada Andreas.

***

Kalau mau cerita ini lanjut sampai tamat, jangan lupa selalu vote dan komen ya.

Love, Money and RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang