Bab 10. Masa Lalu Axton

627 78 11
                                    

Launa tidak bisa memutuskan apakah harus menerima atau menolak ajakan kerjasama dari Axton tanpa meminta pertimbangan paman dan bibinya. Meski tawaran Axton tadi masuk akal dan sangat mungkin bisa berhasil, dia tetap harus mendiskusikan ini lebih dulu.

"Halo Launa."

"Halo Bibi, aku mau membicarakan sesuatu denganmu." Launa menutup pintu dan menguncinya setelah memastikan tidak ada orang di luar kamar.

"Ada apa Launa, kenapa sepertinya kau sangat resah?"

"Aku ingin membicarakan Axtob, tapi sebelumnya aku ingin tahu apa Becca baik-baik saja? Dia tidak sedih atau rindu pada keluarganya?"

"Dia lebih dari baik. Dia senang sekali di sini, apalagi bisa bersama Aaron sepanjang waktu, jadi mana mungkin dia akan ingat dengan keluarganya. Actually, mereka membuatku kesal."

Launa tertawa geli, "Memangnya apa yang mereka lakukan sampai Bibi merasa kesal?" tanyanya penasaran.

"Mereka menempel terus menerus seperti lem, sampai aku merasa tidak punya tempat untukku lagi di bumi ini." Suara Pricilla memang terdengar sangat kesal di sana, sampai wanita itu menghela napas dengan keras.

Launa kembali tertawa. "Biarkan saja Bibi, mereka sedang kasmaran. Aku tidak pernah melihat Aaron bersama seorang gadis, sampai kupikir dia ..."

"Jangan diteruskan, aku takut sekali membayangkannya."

"Itu berarti sekarang Bibi senang Aaron menemukan tambatan hatinya? Dengan begitu kita tidak perlu takut dia menjadi gay." Launa cekikikan.

"Ya, jujur saja aku senang. Becca juga terlihat seperti gadis yang baik, meski sedikit keras kepala."

"Syukurlah. Aku harap Bibi bisa menjaga Becca, karena aku tidak ingin menyakitinya."

"Tenang saja, Becca aman bersamaku. Ngomong-ngomong tadi apa yang mau kau bicarakan?"

"Begini Bibi ..." Launa menceritakan semua yang Axton tawarkan padanya tadi. Semuanya. "Aku rasa dia benar, tapi aku masih butuh pendapat Bibi dan Paman dalam hal ini."

"Kalau dari yang kami lihat sejauh ini sebenarnya tujuanmu dan Axton itu sama. Dia tidak semata-mata ingin mengambil haknya sebagai salah satu ahli waris, melainkan ingin menuntut keadilan atas meninggalnya ibunya."

"Bukankah ibunya meninggal dalam kecelakaan bersama ayah Andreas, yang juga Ayahnya Axton?"

"Kau juga mempercayai itu?"

Launa menutup mulutnya, shock. "Apa mungkin itu ada hubungannya dengan keluarga ini? Sama seperti saat mereka mencelakai ... Laura?"

"Bibi rasa Nensi tidak mungkin mau mencelakai putranya sendiri, apalagi George putra kesayangannya. Kalau William, kita tahu dia itu pengecut."

"Kalau begitu, Agatha?" Launa makin shock. Wanita itu memang terlihat sangat menakutkan, tapi dia tidak menyangka kalau ternyata wanita itu sangat kejam melebihi dari yang dipikirkannya selama ini.

"Bila dilihat dari motifnya, Agatha yang paling mungkin melakukannya."

"Oh my God, bila itu benar, artinya dia sangat mengerikan Bibi. Dia bukan lagi manusia kalau sampai tega melenyapkan suaminya sendiri." Launa merinding karenanya.

"Karena bila hanya Ibunya Axton yang dilenyapkan, tentu akan mudah menemukan pelakunya. Selain itu, dia lebih menyukai kekuasaan dan harta dibandingkan suaminya."

"Apa mungkin Andreas mengetahui ini, Bibi?" tanya Launa penasaran.

"Sepertinya tidak. Bila dia tahu, dia pasti akan sangat membenci ibunya. Selain itu, Nensi juga pasti akan sangat murka kalau tahu putranya dibunuh oleh menantunya sendiri."

"Bibi, kumohon temukan bukti-bukti pastinya lebih dulu. Suatu saat bukti itu akan sangat berguna untuk kita." Laura memiliki sebuah rencana, tapi masih sebagai cadangan.

"Tentu, kau tenang saja semua sudah Bibi dan Paman urus. Kau hanya perlu menjaga diri di sana."

"Lalu, bagaimana dengan tawaran Axton, Bibi? Aku merasa dia tahu semua rahasia kita."

"Aku rasa tidak ada ruginya bila kau menerima tawaran itu, Launa. Tujuan kalian sama, kalian akan makin kuat bila bersatu. Tapi satu hal yang harus kau ingat, jangan sampai terlena. Kau harus fokus pada tujuanmu, karena bila kau sudah bermain dengan hati semuanya akan berada di luar kendalimu."

"Tenang saja Bibi, aku tidak akan terjerat pada pesonanya. Sejujurnya, dia itu menyebalkan."

"Kau yakin? Bukankah Axton sangat tampan?"

***

Tengah malam, Axton dan Launa diam-diam bertemu di gudang bawah tanah. Hanya tempat ini yang aman, karena hampir di semua tempat di rumah ini dipasang kamera pengintai. Bahkan Launa curiga kamar Andreas pun selalu diawasi.

"Langsung saja, apa yang kau inginkan dari kesepakatan ini?" tanya Launa langsung. Dia tidak ingin terlalu lama di sini, bisa berbahaya bila ada yang memergoki mereka.

"Apa kau memang selalu to the point seperti ini?" ledek Axton dengan senyum mengejek.

"Aku tidak suka basa-basi, langsung saja," tegas Launa dengan tatapan dingin.

"Bila rencana kita berhasil, aku hanya meminta bagianku dan bagian Ibuku untuk kudonasikan ke panti asuhan. Selebihnya, aku tidak menginginkan apapun," ucapnya serius.

Kening Launa berkerut. "Kau sudah sejauh ini hanya untuk itu?" tanyanya heran. Dia pikir Axton berambisi intuk menguasai semuanya.

Axton terlihat tampan saat tersenyum tipis seperti itu. "Ibuku pernah bilang, dia ingin sekali membuat panti untuk anak-anak yang membutuhkan. Dulu, sebelum bertemu dengan Ayah, Ibuku juga tinggal di panti asuhan. Jadi, dia ingin anak-anak yang tidak memiliki keluarga tetap mendapatkan kasih sayang," ucapnya.

Launa tertegun dalam kesedihan dan rasa kagum. Begitu mulia sosok Ibu Axton yang juga menular pada putranya. Apakah selama ini dia salah menilai Axton? Pria ini ternyata sangat banyak menyimpan luka, namun sukses ditutupi dengan gaya pecicilannya itu.

"Selain itu, aku harus membuat perhitungan pada orang-orang yang sudah mencelakai ayah dan ibuku." Tatap Axton menajam.

"Kau sudah tahu kalau itu bukan sebuah kecelakaan biasa?" tanya Launa berhati-hati.

"Kalau dulu aku mungkin hanya bisa percaya karena masih terlalu kecil. Tapi setelah aku dewasa dan perlahan mulai tahu sejahat apa mereka, aku yakin itu bukan hanya kecelakaan biasa," jawab Axton. "Sayangnya, aku kesulitan menemukan bukti-bukti itu karena kejadiannya sudah lama."

"Tapi ke mana kau selama ini? Kenapa kau baru muncul sekarang?" tanya Launa. Sebab dari semua yang dia, Paman dan bibinya selidiki, tidak ada nama Axton di sana.

"Mereka mengirimku ke kota kecil yang jauh dari sini. Mereka bilang aku harus banyak belajar tentang mengelola perusahaan agar nanti bisa bergabung dengan perusahaan yang lebih besar di sini. Tapi aku tahu itu semua bulshit, mereka hanya ingin menyingkirkanku." Axton tersenyum mendesis. "Tanpa mereka sadari, mereka telah memberiku kesempatan untuk mempelajari banyak hal untuk melawan mereka."

"Aku turut berdukacita atas apa yang terjadi padamu. Pasti sulit sekali saat itu," ucap Launa prihatin.

Axton tersenyum. "Apa aku juga perlu mengucapkan kalimat yang sama padamu?" kekehnya.

Launa memalingkan wajah, semua yang wajah Axton tunjukan itu sangat berbahaya untuknya. Entah itu tatap ataupun senyumnya.

"Boleh aku bertanya satu hal?" tanya Axton.

Launa kembali menatap Axton. "Apa?" tanyanya.

"Kenapa kau bertukar peran dengan Laura?"

***

Jangan lupa vote dan komen, ramaikan agar cerita ini tidak stop di tengah jalan.

Love, Money and RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang