Bab 22. Kenikmatan untuk Andreas

816 87 7
                                    

Andreas tampaknya sangat terpukul setelah kematian William. Keluarga memang menutupi kesalahannya dan menyuap Polisi untuk menghentikan penyelidikan, namun hatinya tetap tidak tenang. Dia pasti merasa sangat bersalah karena telah melenyapkan pamannya sendiri. Sepulangnya dari pemakaman sang paman, Andreas mengurung diri di kamar dan tidak mau bertemu siapapun.

Tok. Tok. Tok.

"Aku sudah bilang siapapun tidak boleh datang ke sini!" sergah Andreas dengan suara marah.

"Ini aku." Launa sudah membuka pintu, sekarang dia melangkah masuk ke dalam.

"Aku ingin sendiri dulu, kau tidurlah di kamarmu," usir Andreas.

Launa tetap mendekat, tidak peduli pada penolakan Andreas. "Aku paham perasaanmu, kau pasti sangat sedih. Berbagilah denganku, jangan rasakan sendiri. Anggap aku temanmu," bujuknya dengan lembut.

"Ini, aku buatkan teh. Minumlah agar pikiranmu lebih tenang." Launa memberikan secangkir teh pada Andreas.

Andreas meminumnya sampai habis.

"Aku sudah membunuh paman Will, Lau. Paman yang begitu baik padaku selama ini. Aku sudah membunuhnya dengan tanganku." Andreas mulai mencurahkan perasaannya.

Launa memegang tangan Andreas. "Itu bukan kesalahanmu. Paman Will ingin membunuh Ibu, itu sebabnya kau mencoba menghentikannya. Kita semua mengerti posisimu," ucapnya dengan bijak.

"Menurutmu, aku tidak bersalah?" tanya Andreas dengan tatapan sendu.

"Tidak," jawab Launa. "Kau melakukan hal yang benar, Andreas. Kalau kau tidak menembak paman Will, ibu dan grandma pasti berada dalam bahaya. Kau datang di waktu yang tepat."

"Aku sangat terkejut mendengar ada banyak hal terjadi di rumah ini. Bibi Abigail ..." Andreas tampak ragu mengatakannya. "Paman membunuh bibi Abigail," tambahnya.

Launa berpura-pura terkejut. "Aku pikir paman Will hanya mengusir bibi Abigail dari rumah ini," ucapnya.

"Tidak akan ada yang bisa pergi hidup-hidup dari sini bila membuat masalah, Lau." Tanpa sadar Andreas membuka kartu keluarganya.

Launa berpura-pura takut. "Apa aku juga akan mengalami hal yang sama? Kalian juga akan membunuhku?" tanyanya.

Andreas memegang tangan Launa. "Tidak sayang, tidak akan. Selama aku melindungimu, siapapun tidak akan berani menyentuhmu," ucapnya.

"Sungguh?"

"Sungguh. Percayalah padaku."

"Kenapa kau ingin melindungiku?" tanya Launa.

"Karena aku ..." Andreas mendekatkan bibirnya, namun Launa memalingkan wajah. Dia terlihat kecewa, tapi memilih memalingkan wajah.

"Maafkan aku," ucap Launa merayu kembali. Dia usap pundak Andreas dan memegang tangannya lagi. "Andai aku bisa mengingat semuanya, pasti aku akan merasakan hatimu yang sebenarnya."

Andreas terlihat salah tingkah. "Sayang, kau tidak perlu memaksakan diri. Dokter bilang kau tidak boleh berusaha terlalu keras untuk mengingat semuanya, karena itu bisa berbahaya. Tenanglah, aku akan menunggumu dengan sabar," ucapnya membujuk.

Dalam hati Launa tersenyum, namun di luar dia menunjukkan ekspresi yang seolah-olah sedih.

"Kau selalu meminum obatmu bukan?" tanya Andreas penuh selidik.

"Tentu saja. Aku rutin meminumnya. Tapi anehnya, aku merasa tubuhku makin lemah bila meminum obat itu. Apa sebaiknya aku mencari dokter lain saja?"

"Jangan!" Andreas terlalu cepat. "Maksudku, dokter yang sekarang sudah sangat bagus. Dia dokter terbaik keluarga ini." Dia tersenyum palsu.

Love, Money and RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang