*Chapter 39*

1.8K 220 30
                                    

Adryan memilih waktu pagi untuk pergi berziarah bersama Gara, agar suasana di pemakaman tidak terasa begitu menyeramkan. Tapi nyatanya saat ini cuaca yang bisa dikatakan tidak cerah itu justru membuat suasana di area pemakaman menjadi mencekam. Langit mendung, disertai hembusan angin yang cukup kencang membuat bulu kuduk berdiri. Bukan karena merinding, tapi karena hawa dingin yang seperti memeluk tubuh mereka. Padahal saat berangkat dari mansion tadi cuacanya cerah. Namun berubah mendung setibanya mereka di pemakaman.

Adryan dan Gara sudah selesai mengirim doa, juga menabur bunga dan menyiram air di makam yang di batu nisannya bertuliskan Erena Lidyasara- mamanya Gara.

"Papa duluan aja. Gara mau ngomong sama mama sebentar." Ujar Gara pada Adryan yang sudah berdiri dan ingin mengajaknya pulang.

"Mau hujan, Gar. Nanti aja kapan-kapan kita ziarah lagi, ya."

"Gara pengen ngomong nya sekarang, pa. Sebentar aja, please." Mohon Gara sembari menatap papanya.

"Yasudah, cepatan ngomong gih, papa tungguin disini!"

"Gara pengen ngomong berdua aja sama mama, pa!"

Adryan menghela napas lalu berpikir sejenak.

"5 menit.. papa tunggu di mobil." Kata Adryan kemudian.

"10 menit." Balas Gara.

Adryan menghela napas lagi,"oke, 10 menit." Ujarnya menyetujui dengan terpaksa. Ia tidak ingin berdebat. Ia lantas melangkah menuju mobil yang terparkir sekitar 10 meter dari sana.

Melihat sang papa sudah berjalan menjauh, Gara lantas kembali memfokuskan pandangannya ke makam sang mama. Netra sayunya memandang makam itu dengan tatapan kosong. Setelah dua menit berlalu, barulah Gara mulai membuka suara.

"Ma, Gara pengeeen banget ketemu sama mama. Apa mama gak mau ketemu sama Gara? mama bahkan gak pernah datang ke mimpi Gara. Atau karna Gara yang sama sekali gak punya kenangan apapun tentang mama. Itu sebab nya Gara gak pernah mimpiin mama?"

Gara terdiam sejenak. Pandangannya masih tertuju pada makam itu.

"Gara gak pernah sekalipun ketemu sama mama, lihat wajah mama secara langsung pun Gara gak pernah. Kenapa disaat Gara baru aja terlahir ke dunia, mama justru malah pergi?"

Gara memejamkan matanya yang memanas dan terasa perih. Air mata nya ingin menetes karena sedih, juga karena terkena angin yang membawa serta debu masuk mengenai matanya, seolah-olah seperti mendukung nya untuk menangis.

"Sudah beberapa hari Gara mimpi buruk, dan di dalam mimpi itu ada seseorang yang bilang, kalo mama pergi karena gak mau punya anak lemah dan nyusahin kayak Gara. Tapi Gara tahu itu gak benar. Mama pergi karena sakit seperti Gara. Walaupun selama ini Gara memang cuma bisa nyusahin papa sama abang. Tapi Gara yakin mama tetap sayang sama Gara, iya 'kan, ma? Gara pengeeeen banget.. denger suara mama manggil Gara dan bilang kalo mama itu sayang sama Gara. Gara juga pengen ngerasain di peluk sama mama. Makhluk halus yang gak penting aja bisa Gara lihat, tapi kenapa mama yang sangat penting justru gak bisa Gara lihat? Gara bener-bener pengen lihat mama. Gara pengen banget ketemu sama mama,"

Gara menunduk. Air mata nya sudah  menetes bersamaan rintik hujan yang mulai membasahi tubuh yang tengah berjongkok itu. Walaupun ia mengenakan celana dan kemeja lengan panjang. Tetap saja air hujan itu bisa menembus dan menyentuh permukaan kulitnya.

Adryan yang sejak tadi memandang Gara dari kejauhan, lantas segera berlari menghampiri putra bungsu nya.

"Udah ya, kita pulang sekarang. Hujan nya mulai lebat." Adryan merangkul tubuh Gara agar segera beranjak dari sana.

"Pa, mama sayang sama Gara, kan?" Bukan nya berdiri, Gara malah melontarkan pertanyaan pada Adryan, sembari masih berjongkok.

"Ya pasti sayang lah, Gar. Kamu 'kan putranya papa sama mama. Sama kayak papa sayang kamu.  Almarhumah mama juga pastinya sayang sama kamu juga. Kita masuk ke mobil dulu, ya. Baju kamu udah basah, nanti masuk angin." Adryan memaksa Gara untuk berdiri. Lalu merangkul tubuh Gara yang sudah basah kuyup itu menuju mobil. Gara tidak berontak dan mengikuti langkah sang papa.

About GaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang