tiga puluh tiga

1.8K 222 212
                                    




* u/ SThySuwito yang makin kepo pingin tahu kelanjutannya *


Andin merasa tubuhnya menjadi tegang begitu dirinya mengenali suara dalam dan penuh kharisma di belakangnya, dan Roberto pasti merasakannya juga karena laki-laki itu segera melepaskan rambut Andin dan mengangguk pada Sebastian. "Aku baru saja mengobrol dengan sekretarismu yang cantik," kata Roberto. "Bagaimana penerbanganmu kemari?"

Andin berbalik dan melihat ekspresi dingin di wajah bosnya. Mata biru itu terpaku padanya selama beberapa detik sebelum beralih ke Roberto. "Baik-baik saja," jawab Sebastian santai.

"Aku pikir juga begitu kalau tidak saudaramu pasti akan mendengar keluhanmu segera setelah pesawat mendarat atau bahkan sebelumnya." Robert terkekeh.

Sebastian memberikan senyum yang mungkin tampak sebagai senyum sopan, tetapi Andin memperhatikan tatapan dingin di mata birunya. Pria itu tidak menganggap lelucon itu lucu. "Reed selalu memastikan pelayanan yang bagus dan sesuai standar untuk semua pelanggannya."

"Tentu saja," Roberto mengangguk. "Mungkin suatu hari nanti aku akan membeli pesawat dari saudaramu. Kau akan membantuku untuk mendapatkan diskon yang cukup besar, bukan?"

"Akan kulihat apa yang bisa kulakukan," kata Sebastian, tidak memberikan janji apa pun, tetapi mood pria itu tampaknya cukup membaik.

Roberto melihat jam tangannya dengan angkuh. "Dio Mio! Aku terlambat. Maaf tapi aku harus pergi. Aku ada meeting. Kurasa aku akan menemuimu malam ini, Sebastian." Roberto mengedipkan mata pada Andin saat ia berjalan melewati gadis itu lalu mencondongkan tubuh ke arah Andin, dan menambahkan, "Dan aku tentu tidak sabar untuk bertemu denganmu lagi, Piccolina."

Begitu Roberto pergi, Andin perlahan menatap Sebastian. Ekspresi pria itu tidak bisa dibaca. Jelas ia telah memasang kembali jarak antara mereka.

"Bagaimana kalau kita ganti baju dan jalan-jalan?"

"Sepertinya saya kelelahan karena berenang," jawab Andin. "Saya lebih memilih beristirahat selama beberapa jam di hotel. Saya masih sedikit lelah dari perjalanan pesawat."

"Aku oke saja." Sebastian mengangkat bahu lalu berbalik dan pergi. "Aku akan menemuimu di lobi sekitar pukul enam tiga puluh sebelum kita pergi makan malam."

"Apakah kau perlu saya bawakan sesuatu, Sir?"

"Tidak, terima kasih, Miss Williams," katanya dingin. "Aku akan pergi ke kota jadi aku akan menemukan apa yang kubutuhkan di sana."

Andin dengan cepat mengganti baju renangnya dengan jeans dan blusnya lalu kembali ke hotel sendirian. Meskipun ia agak penasaran ke mana Sebastian pergi dan dengan siapa, ia tahu dirinya tidak punya hak untuk bertanya jadi ia membuang pikiran mengganggu itu dan berbaring di tempat tidur setelah mencuci dan menjemur bikininya. Andin menarik tirai agar tertutup namun membiarkan jendela Prancis itu terbuka agar angin sejuk dari laut dapat masuk. Meskipun dirinya mencoba untuk bersantai tetapi pikirannya tidak berhenti. Tubuhnya sakit dengan kebutuhan yang tidak bisa ia pahami dan ini semua salah Sebastian.

No. No. No. Ada dua orang di atas rakit itu. Dirinya sama bersalahnya dengan pria itu. Saat menyadari ini, ia marah pada dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa membiarkan dirinya merespon Sebastian seperti itu? Andin membenci dirinya sendiri karena takluk pada rayuan Sebastian. Pria itu tahu persis bagaimana membangkitkan gairah wanita. Sensualitas bercintanya jelas tidak dipelajari dalam semalam. Andin telah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya melemah terhadap rayuan pria itu namun ia sadar dirinya sudah gagal. Sekarang tidak ada yang tersisa dari harga dirinya. Kenapa ia melakukannya? Apakah benar-benar mustahil untuk mengendalikan impuls berbahaya dari tubuhnya dengan alasan ketenangan pikiran? Andin malu pada dirinya sendiri, malu dengan perilakunya.

Apa pun yang ditawarkan Sebastian jauh dari apa yang diinginkannya dalam relasi maupun hidup. Andin menginginkan kasih sayang lembut dan kebersamaan, kehangatan yang tidak menuntut yang dapat memperdalam cinta yang kuat. Ia selalu percaya bahwa kasih sayang seperti itu lebih kuat dan sehat daripada kesadarannya akan daya tarik Sebastian.

Matanya menatap tirai yang tertiup angin laut dan pikirannya membawanya kembali ke apa yang terjadi di rakit, ke Sebastian dan ciumannya. Meskipun Andin berusaha untuk membuang pikiran-pikiran itu jauh-jauh, pikiran itu terus muncul kembali dan secara perlahan ia pun jatuh tertidur. Andin terbangun ketika sebuah tangan menyentuh bahunya.

Ia berbalik dengan cepat, masih setengah tertidur, kelopak matanya perlahan membuka menatap tubuh kokoh ramping pria itu. "Tian?"

"Maafkan aku, tapi kita harus bersiap-siap," kata pria itu, tangannya dimasukkan ke dalam saku.

Untuk sesaat, Andin terbaring di sana, tegang seperti binatang yang terperangkap dengan mata terbuka lebar. "Saya akan berganti pakaian," katanya, menunggu pria itu pergi. Sebastian tampak seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya dengan senyum mengejek pria itu pergi, dan Andin bangkit dari tempat tidur dengan enggan untuk bersiap-siap.

Gaun malam yang dibawanya masih baru. Ia membelinya baru-baru ini karena Damon telah membujuknya saat mereka pergi belanja bersama. Andin belum pernah memakainya sebelumnya, dan sekarang, menatap dirinya sendiri dengan cemas, ia berharap ia membawa salah satu dari dua gaun miliknya. Andin sering kali harus mengenakan gaun malam yang menarik karena pekerjaannya memerlukan banyak sosialisasi, dan di masa lalu ia selalu membeli gaun yang cantik, tetapi sopan. Ia agak ragu tentang gaun yang satu ini ketika Damon membujuknya untuk membelinya, karena gaun itu tampak lebih terbuka saat ia menatap bayangannya di cermin.

Bahannya adalah sutra halus dengan warna nude krem. Potongan sutra yang lembut melintasi bahu telanjangnya, menahan korset bagian atas yang ketat. Praktis tidak ada bagian belakang gaun itu. Gaun itu menempel di tubuhnya seperti sarung tangan halus, menekankan setiap lekuk tubuh, memaksanya berjalan perlahan, bagian pinggulnya bergoyang karena potongan bahan gaun itu menyempit kebawah.

Andin menata rambutnya agar jatuh seperti tirai hitam halus dari atas kepalanya, dengan klip berlian oval yang menjaga rambutnya agar tetap di tempatnya. Dengan kesal Andin mengutak-atik helaian rambut yang lepas dari tempatnya. Akhirnya ia berhasil membuat rambutnya tetap diam, tepat ketika Sebastian mengetuk pintunya. Ketika Andin membukanya, pria itu menatapnya dengan mata menyipit, ekspresi agak muram tampak di wajahnya.

"Aku mulai bertanya-tanya apakah aku mengenalmu sebelumnya," kata bosnya setelah beberapa saat.

Andin mencoba menjawab dengan ringan, memaksa suaranya terdengar biasa saja. "Yah, saya pikir Anda ingin saya merayu Roberto dan membuatnya menandatangani kontrak apa pun yang Anda berikan kepadanya."

Alis pria itu menyatu. "Aku tidak mengatakan itu," katanya singkat.

"Apakah dia tidak mudah dirayu ?" Andin bertanya, merasa benar-benar di luar karakter, tetapi takut akan sifat sebenarnya dari perasaannya saat pria itu berdiri di sampingnya.

"Percayalah, kau tidak akan punya masalah di sana," kata pria itu datar. "Terutama jika dia melihatmu dalam gaun itu." Wajahnya menunjukkan tekad yang agresif, mata birunya memancarkan kemenangan yang mengejek, dan dalam gerakan cepat kilat, Sebatian mengulurkan tangan dan memasukkan tangannya yang bebas ke dalam lekukan pinggang Andin. "Apakah kau tahu apa yang kurang?"

Menolak diintimidasi, Andin mendongak untuk menatap mata pria itu dan bertanya, "Apa?"

Sebastian menatapnya dari bawah kelopak mata yang berat. Pria itu menurunkan mulutnya ke bibir gadis itu dan tersenyum di bibirnya. "Ini." Pria itu menciumnya lama dan keras. Ketika Andin terperangah dan mulai protes, pria itu mengambil kesempatan untuk memasukkan lidahnya ke dalam mulutnya, licin dan terbuka, dan pikiran Andin jadi kosong. Sebastian menyelipkan jari-jarinya ke rambut Andin dan memegang sisi kepala gadis itu di tangannya.

Erangan sensual yang dalam keluar dari mulut pria itu tatkala ia memaksa dirinya untuk menarik diri. "Kita harus pergi sekarang, Miss Williams, kecuali jika kita ingin terlambat untuk acara makan malam."

* * * * * * *

A/N: kira2 perjalanan bisnis ini beneran berubah jadi bulan madu gak sih?

dear mister summersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang