Namanya Elizabeth Brouwer.
Anak perempuan itu langsung menjadi pembicaraan hangat di sekolah. Anak² lain memanggilnya Lizbeth. Ayahnya seorang letnan jenderal, bernama Rudolf Brouwer. Jelas tidak ada orang tua lain yang pangkatnya setinggi letnan jenderal Brouwer.
Selain karena anak petinggi, yang membuat Elizabeth Brouwer menjadi pusat perhatian adalah penampilannya yang nyaris sempurna. Rambutnya terurai indah, sorot matanya tajam, senyumnya sangat manis. Belum lagi bentuk tubuhnya yang bisa dibilang sangat ideal.
Siapapun yang melihat nya, pria ataupun wanita, pasti akan terpana. Banyak pemuda yang ingin menjadi kekasihnya, sementara para gadis berebut ingin menjadi sahabat anak perempuan itu.Sayang, Elizabeth bukan anak perempuan ramah yang mah berteman dengan siapapun. Sikapnya angkuh, ketua, tak suka berbaur dengan anak² lain. Dia hanya memiliki beberapa teman, dan sangat pemilih, tentu saja anak² kolega papanya, sesama pejabat di daerah itu.
Menurut kabar, keluarga Brouwer hanya akan menetap beberapa tahun di kota itu karena ditugaskan pemerintah Belanda.
Anehnya Rudolf Brouwer lebih suka menyekolahkan anaknya di situ daripada memanggilkan guryvke rumah seperti kebanyakan keluarga elite.
Ivanna hanya bisa memperhatikan anak itu dari kejauhan.
Dia kesal. Sebenarnya, kata² yang dia lontarkan pada anak itu tempo hari belom menuntaskan amarahnya. Namun, apa daya, dia sudah berjanji pada kepala sekolah untuk tidak menganggu anak itu lagi.
Lagi pula, semua ini demi Dimas. Jika bukan karena Dimas, dia akan kembali mendatangi Elizabeth Brouwer, mengamuk, tak peduli dia terancam dikeluarkan dari sekolah.
Meski batinnya tersiksa, Dimas Van Dijk menyadari bahwa selain mendapatkan pelajaran sekolah, dia juga bisa melatih kesabaran, ketenangan, dan berhadapan dengan berbagai karakter manusia di sekelilinginya.
Sepulang sekolah, dia masih kerap bermain dengan anak² inlander di sekitar rumah Van Dijk.
Ini sama sekali berbeda dengan kakanya. Ivanna masih sering marah, menahan emosi, dan pusing sendiri memikirkan nasib keluarganya. Dia hanya bisa diajak bicara oleh anggota keluarga van dijk saja. Tak seorang pun diluar itu yang bisa mengajak seorang Ivanna ngobrol.
Ivanna tipe manusia pemikir. Sayangnya, yang sering dia pikirkan hanya hal-hal buruk. Dia tidak bisa menjadi optimistis, segala sesuatu yang orang lain lakukan tak pernah ada yang baik. Seandainya dia tidak mengalami masa² sulit bersama anak² di sekolah, mungkin dia tidak akan seperti sekarang. Ivanna Van Dijk sebenarnya memiliki hati yang lembut dan perasaan.
Sependiam apapun, sekaku apapun, ternyata Ivanna tetap bersikap sopan pada para bedinde, dan jonggos-para pekerja di rumah keluarga van dijk. Dia sering membantu melakukan pekerjaan rumah. Dia bahkan pernah mengusulkan agar orangtuanya menaikan upah para pekerja di rumah mereka, agar kehidupan para pekerja lebih layak.
Hanya saja, jika sudah di menginjakan kaki di sekolah, sikapnya akan bw merubah Delapan puluh derajat. Dia menjadi sangat kamu, ketus,selalu menyendiri. Bertahun-tahun sekolah tak seorang pun teman yang dia miliki.
𝘽𝙖𝙜𝙞 𝙨𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙄𝙫𝙖𝙣𝙣𝙖, 𝙖𝙣𝙖𝙠-𝙖𝙣𝙖𝙠 𝙞𝙩𝙪 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙟𝙖𝙝𝙖𝙩.
𝘽𝙖𝙜𝙞 𝙨𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙄𝙫𝙖𝙣𝙣𝙖, 𝙖𝙣𝙖𝙠² 𝙞𝙩𝙪 𝙥𝙖𝙩𝙪𝙩 𝙙𝙞𝙗𝙚𝙧𝙞 𝙥𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧𝙖𝙣.
𝙎𝙪𝙖𝙩𝙪 𝙨𝙖𝙖𝙩, 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙧𝙖𝙨𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙧𝙖𝙨𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙜𝙖 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙙𝙞𝙞𝙣𝙟𝙖𝙠-𝙞𝙣𝙟𝙖𝙠 𝙤𝙡𝙚𝙝 𝙗𝙖𝙣𝙜𝙨𝙖 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞.Dimas Van Dijk tengah duduk di bangku di halaman belakang sekolah. Dia menggenggam sebuah pensil dan mencoret-coret sesuatu di sehelai kertas gambar. Sudah hampir setengah jam Dimas duduk disana, tenggelam dalam pikiran dan goresan pensilnya sehingga lupa bahwa sejak tadi ada seseorang yang memperhatikan dari kejauhan.
"Halo Van Dijk..." suara anak perempuan tiba² membuyarkan keasikan nya. Dimas langsung meremas kertas gambar itu, lalu menyembunyikannya di balik bangku taman. Dimas semakin terkejut saat anak perempuan itu menghampirinya, lalu mengambil kertas itu yang tadi dia sembunyikan.
"Jangan, jangan buka kertas itu..."
Baru kali ini Dimas Van Dijk bersuara. Selama ini dia(Dimas) hanya membuka mulut hanya untuk menjawab pertanyaan guru.
Awalnya gadis itu tersenyum sangat jahil, tapi tiba² saja ekspresinya menjadi kaget saat melihat gambar yang ada di kertas.
"Apakah ini aku? Kau begitu pandai melukis. Benar, ini aku? Gambar ini begitu mirip denganku. Boleh aku menyimpannya?"
Mata anak perempuan itu berkaca-kaca, bagaikan terharu.
Namun, Dimas Van Dijk semakin menunduk "Ya, itu lukisan wajahmu..." suaranya sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Meskipun begitu, si anak perempuan bisa mendengar jawabannya. Kini, sebersit senyuman terlihat jelas di wajahnya. "Boleh aku menyimpannya?"
Dimas mengangguk pelan meskipun ragu dan malu.
Anak perempuan itu tersenyum lebih lebar. Tangannya berkaca-kaca harus. "Terima kasih Dimas..."
Kata² anak perempuan itu membuat Dimas terkesima. Baru kali ini ada seseorang di sekolah yang memanggil nama depannya. Selama ini, para murid bahkan guru di sekolah enggan memanggilnya dengan nama itu. Mereka semua lebih nyaman memanggil nama keluarganya, "Van Dijk"
Akhirnya, Dimas berani mendongak, menatap wajah anak perempuan di hadapannya. Sekarang, mereka saling bertukar senyum malu. Si anak perempuan kemudian mengangguk, lalu meninggalkan tempat itu sambil mendekap kertas gambar di dadanya.
Sementara, Dimas hanya bisa terpaku tanpa bisa bersuara lagi. Baru kali ini jantungnya terasa berdebar kencang, seolah hendak pecah. Perasaannya meluap, membuat otaknya mendadak tak bisa berpikir.Dimas terus memandang ke arah anak perempuan yang berjalan cepat menjauhinya. Dia mencoba mengatur nafas, membuang ketegangan yang tiba² saja menjalar dengan cepat.
Tiba² anak perempuan itu berbalik sambil mengucapkan beberapa kalimat. Dimas tidak dapat mendengarny dengan jelas karena suara anak itu pelan dan jarak mereka cukup jauh. Namun, Sama-sama dia mengerti, anak itu ingin digambar lagi olehnya
Terbata-bata, Dimas Van Dijk menjawab permintaan anak perempuan itu.
"Baik, Elizabeth. Kapan-kapan aku akan menggambar wajahmu lagi..."
KAMU SEDANG MEMBACA
IVANNA VAN DIJK
Randomkisah hidup noni belanda IVANNA . Tapi aku bakal ceritain secara singkat biar ga terlalu panjang. Hantu belanda berambut pirang itu terlihat marah, gusar, dan mengusir siapapun yang datang ke rumah. Dia benci orang-orang berwajah melayu, dia benci...