Halo! Kalau suka jangan lupa beri dukungan ya, satu vote dari kalian membuat aku merasa sangat dihargai!♥️♥️
_________________"Siapa gembel yang kau maksud?" Prajurit itu diam, Audrey acuh dan segera masuk ke dalam kastil, tatapan tajam yang sama dengan matanya, diperlakukan dengan buruk sudah menjadi makanan keseharian. Hanya saja saat dulu ada Ratu Zaura yang akan selalu membela dan melindungi Audrey, tapi untuk sekarang? Audrey tidak tahu, bahkan mati pun sepertinya bukan hal yang mengerikan.
Jari jemarinya ia kaitkan bergantian dengan satu sama lain, keringat yang membasahi dahi, asahan pedang itu memang selalu berhasil membuat Audrey terdiam ketakutan. Di depan semua orang Audrey bisa menjadi seorang yang terlihat begitu kejam, tapi di depan ayahnya? Mulut Audrey terasa bisu.
"Mau berakhir sia-sia seperti ibumu? Pedang ini baru diasah dan sudah pasti tajam, mau mencobanya?" Audrey menggeleng, punggungnya menempel pada dinding dengan bergetar. Ia hanya seperti ini saat berhadapan dengan ayahnya, setengah mati Audrey membenci dalam hati tapi ia selalu lemah seperti ini.
"Malam ini pergilah." Mendengar ucapan itu Audrey seketika terdiam, ia terlihat berpikir dan akhirnya mencoba memastikan dengan bertanya. Debaran yang Audrey rasakan, mengapa saat bersama ayahnya dunia selalu terasa begitu mencekam.
"Pergi?" Mengumpulkan keberanian untuk sekedar mengangkat kepala, semua benci dan ambisi serasa hilang begitu saja.
Tidak akan pernah Audrey yang lemah terlihat di depan siapa pun selain saat bersama ayahnya. Membenci sepanjang waktu tapi tak bisa berbuat apa-apa, hidupnya serasa tidak berguna, terus membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain, Audrey tahu bahwa ini tidak akan ada habisnya.
"Ya, tanpa penghormatan pergilah dari sini dan kembalilah saat Ertigo sudah mempunyai pewaris laki-laki." Lagi dan lagi, mengapa laki-laki seolah makhluk yang paling didambakan di Ertigo, Audrey tak tahu pasti apa alasan dari itu.
Perempuan seakan tak ada harga dirinya, jangan lupakan tentang peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu, ingatan Audrey tidak lemah, bahkan teriakan dan jeritan dari para ibu masih terdengar jelas saat Audrey kembali mengingatnya. Peristiwa itu membuat Ertigo kekurangan populasi perempuan tapi pemimpin mereka seolah tak peduli, karena ia sendiri penyebab dari masalah ini. Membuat keputusan semena-mena, bahkan sepertinya tak ada yang senang saat kepemimpinan Raja Ertigo di masa ini.
"Ayah akan menikah lagi?" tanya Audrey dan dengan cepat ia kembali menunduk, sorot mata tajam bak pedang itu seolah ingin mengiris-irisnya saat ini juga, Audrey merasakan ketakutan setiap saat, bahkan pertanyaannya saja tidak dijawab.
"Tapi ke mana aku harus pergi?" Audrey menatap iba, napasnya terasa tercekat memikirkan bagaimana kehidupan dan nasibnya ke depan. Mengapa kebahagiaan begitu jauh untuk datang, Audrey selalu menantikan bahwa kehidupannya nanti tidak akan semenderita ini, tapi harapan itu kembali dengan pertanyaan yang sama, kapan? Bahkan manusia tidak tahu takdirnya ke depan bagaimana.
Manusia bukan Tuhan yang tahu apa saja dan bagaimana takdir, manusia diberi akal untuk berpikir dari pikiran itulah nasibnya tertakdir, terkadang sesuatu dibicarakan begitu rumit.
"Kau pikir aku peduli?" Tanpa perasaan Nellaf pergi meninggalkan putrinya sendiri, tangan Audrey terkepal kuat, ia melempar sebilah pisau pada cermin, beberapa kali sampai terlihat retakan.
Menghembuskan napas kasar, ia segera mengemasi pakaian dan meninggalkan istana utama Ertigo melewati pintu belakang. Apakah ia hadir hanya untuk dibenci? Kata orang menjadi seorang bangsawan itu menyenangkan, tapi di mana letak kesenangan itu pada kehidupan Audrey? Mungkin hanya ia saja, seorang bangsawan dengan luka dan sangat menderita.
"Kebencian telah tumbuh, pasang telingamu dan dengarlah bahwa kematianmu, kebahagiaan untukku." Sorot mata penuh kebencian, siapa yang menanamkan ia yang akan menanggung. Tanpa alas kaki Audrey berjalan tak tentu arah, pepohonan di setiap tepi jalan, bangunan tinggi yang tak lain adalah kastil utama. Perlahan langkahnya mulai menjauh, pikiran yang tak karuan membawanya masuk ke dalam hutan.
Langit gelap dengan awan yang menghitam, rintik air hujan turun dan perlahan membasahi tubuh Audrey. Berjalan bersama turunnya hujan, Audrey singgah di salah satu pohon dengan niat berteduh di sana.
Pikirannya kacau, Audrey hanya membekali dirinya dengan beberapa potong roti, pakaian di dalam tas kecil dan sedikit perhiasan yang menempel di leher, telinga, dan tangan.Tak peduli akan datangnya binatang buas yang mungkin saja akan menyerangnya, hari kian semakin gelap. Semilir angin membuatnya terpejam, berpikir bahwa dingin sekali dunianya. Di mana dapat ia temukan dunia yang sedikit saja memberi kehangatan?
"Selamat pagi, Nona." Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan, ia menyapa Audrey ramah, dengan gaun yang berbeda dari hari kemarin, Audrey mulai membuka matanya dan betapa terkejutnya ia saat melihat banyak pelayan.
Belajar untuk tidak menunjukkan reaksi berlebih maka hal-hal baik, yang bahkan tak pernah terpikirkan akan berpihak padamu dengan sendirinya, tak pernah Audrey berpikir untuk berada di sini, di tempat ini.
♥️♥️
Kunjungi Instagram aku yuk!
@Srnrjti
______________
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY PRINCESS [SUDAH TERBIT]
Fantasy"Edward, Sila, Darla, Arche, Mione, Hena, Nellaf, semuanya belum selesai. Cerita ini menggantung!" Saat menoleh, Dreya tak lagi menemukan penyihir itu di dekatnya. Dreya melangkah lunglai, ia menatap menara dan bangunan yang menjulang tinggi dari ke...