Cuaca gelap turut serta dalam suasana duka, tampang wajah bermuka dua terlihat begitu banyak di sini. Sang putri pergi meninggalkan istananya untuk menenangkan diri di tepian laut, kehilangan orang yang berarti dalam hidup adalah hal yang begitu menyakitkan, tak pernah terpikirkan sosok itu akan pergi pada esok hari, tak ada yang tahu mengenai kapan kematiannya datang, sebagian manusia berpikir bahwa ia masih akan bernapas di esok hari.
"Bersandar pada manusia, manusia akan pergi," ucap Audrey.
Audrey Relissia Ertigo, menatap gamang peti mati di depannya. Audrey menatap nanar para pelayan, mereka sangat mematuhi perintah Raja Nellaf untuk tidak membantu proses pemakaman Ratu Zaura sedikit pun.Audrey termenung di tepi laut selatan usai pemakaman, hidup memang benar-benar melelahkan, mungkin posisinya diinginkan oleh orang banyak tapi sungguh jika bisa memilih maka ia akan memilih untuk menjadi rakyat biasa, terbebas dari segala masalah kerajaan yang begitu memuakkan. Sangat lelah dalam kehidupan, dunia yang begitu dingin untuk manusia berhati lemah, dunia terlalu keras jika menganggap bahwa semua orang itu akan baik ketika kita juga perlakukan mereka dengan baik.
"Kau di sini?"
"Pergi, aku ingin sendiri," ucap Audrey tanpa menolehkan kepala. Tidak semua orang mengerti dengan keadaannya, tidak ada yang benar-benar memahaminya. Gemuruh petir terdengar jelas tapi tak ada rasa takut untuk kedua gadis bangsawan itu berbincang, mereka mengabaikan awan yang sudah gelap di atas sana.
"Kau ingin menyusul Ratu Zaura? Aku bisa mengantarkanmu kalau kau mau, bagaimana?" Perkataan yang lolos dengan mulus dari bibir Hellena mampu membuat Audrey menoleh dengan sorot mata tak santai, Hellena putri Duke Falcone tidak tahu diri itu. Tidak langsung menjawab, Audrey melirik cepat benda yang dibawa oleh gadis di depannya, sebuah pedang, Hellena menginginkan sebuah pertarungan.
Mereka memang tak pernah akur, jika dilihat, kehidupan Hellena jauh lebih menyenangkan daripada Audrey, Hellena adalah putri satu-satunya Duke Falcone, Hellena mendapatkan kasih sayang yang cukup dan itu berbanding sangat terbalik dengan Audrey.
"Bertarung denganku?" tanya Audrey dengan satu alis yang terangkat, sebelum Hellena berbicara akan Audrey pastikan ia yang menantangnya terlebih dahulu.
Menantang itu lebih baik, terkesan sombong tapi menarik. Audrey menyukai tantangan walau terkadang dirinya sendiri yang kalah dan terluka, pedang adalah pelampiasannya dalam segal hal.
"Kau tidak punya hati ya? Ratu Zaura baru saja meninggal dan kau malah menawarkan sebuah pertar--"
"Iya atau tidak!?" potong Audrey cepat. Hellena tersenyum simpul setelahnya tertawa remeh, ia mengangguk, mata mereka saling bertatap tajam.
Di bawah langit yang gelap serta gemuruh petir, sama sekali tidak menyurutkan semangat pertarungan antara Audrey dan Hellena, padahal mereka sama-sama sedang dalam suasana duka. Walau Hellena begitu menyebalkan, tapi sungguh jika tidak ada gadis itu mungkin setiap saat Audrey akan merasa kesepian.
"Ah!" Audrey meringis kala lengannya sedikit tersayat oleh pedang Hellena. Melihat Audrey yang mulai kewalahan, Hellena kembali tertawa senang. Pertarungan ini tidak seimbang, Audrey menggunakan tangan kosong sementara Hellena memakai pedang.
"Sudah kubilang jangan menantangku! Hahah aku akan sangat senang jika kau mati di tanganku!" Bohong. Perkataan Hellena berbanding terbalik dengan apa yang ada di hatinya, terkadang seseorang menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda, salah satunya dengan selalu mengibarkan bendera peperangan. Hellena dengan egonya yang tinggi, menaruh rasa simpati pada Audrey tapi malu untuk mengakuinya.
"Kemari sialan! Aku tidak pernah kalah oleh siapa pun!" Lain dengan ucapannya, kini Audrey justru terbaring lemah di tepi laut, sementara Hellena sudah berkacak pinggang melihat Audrey terkapar dengan tetes darah mengalir di area pipi dan lengan. Berharap untuk menang tapi berakhir kalah juga, tak apa.
"Kau menggunakan pedang bodoh!" teriak Audrey geram, ia masih terlalu lemas untuk bangkit dari atas pasir.
Hellena memang keterlaluan, ia bertambah geram kala mendengar Hellena kembali tertawa nyaring. Audrey harus membuat telinganya tidak bisa mendengar sementara, melihat Hellena yang sudah kembali berkacak pinggang, Audrey yakin bahwa gadis itu akan kembali mengeluarkan kalimat menyakitkan.
"Hahaha! Sudah ditinggalkan ibu, tidak dianggap oleh ayah, dibenci rakyat, ah menderita sekali hidupmu Audrey sayang. Kasihan, cup cup cup." Audrey menepis tangan yang mencoba menyentuh wajahnya. Ia mendecih kasar, sangat menyebalkan untuk Audrey saat melihat Hellena yang kembali tertawa, gadis itu seperti sangat senang melihatnya menderita.
"Hellena sialan!" Hellena pergi dan kini Audrey tertatih dengan gaunnya yang sudah compang-camping, ini semua ulah Hellena.
Ingatkan Audrey untuk memberi Hellena pelajaran, gadis itu selalu keterlaluan setiap saat. Membiarkan rambut bagian depan menutupi wajahnya, Audrey tiba di depan gerbang kastil utama, prajurit yang berjaga tidak langsung mengizinkannya masuk.
"Maaf tidak menerima gembel di sini," ucap salah seorang prajurit dengan begitu tidak sopan. Hidup sangat lelah ketika dikelilingi orang-orang menyebalkan, Audrey menyibak rambutnya.
"Putri!?"
Waktu kalian berharga dan kalian menyempatkan luang waktunya untuk membaca cerita ini, terima kasih banyak ya!🥺
___________Kunjungi Instagram aku yuk! @Srnjti
___________
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY PRINCESS [SUDAH TERBIT]
Fantasía"Edward, Sila, Darla, Arche, Mione, Hena, Nellaf, semuanya belum selesai. Cerita ini menggantung!" Saat menoleh, Dreya tak lagi menemukan penyihir itu di dekatnya. Dreya melangkah lunglai, ia menatap menara dan bangunan yang menjulang tinggi dari ke...