Bab 04. Bloody Princess

552 98 73
                                    

"Ketika kalian pertama kali menjadi pelayan, kalian sepertiku juga?" tanya Audrey tiba-tiba, para pelayan menggeleng.

"Tidak, kami datang dengan lamaran atau mengajukan diri, kami tidak akan menganggapmu sama seperti kami, Nona. Bagi kami kau tamu di sini," tutur salah seorang pelayan bernama Darla itu, postur tubuhnya sedikit membungkuk.

Audrey mengernyit heran lantas berkata, "Apa-apaan, kalian tidak dengar tadi? Aku pelayan di sini."
Bagi Audrey para pelayan di sini sungguh aneh, Darla menoleh pada rekan-rekan kerjanya, ia tersenyum dan kembali mencoba untuk menjelaskan. "Kalau kau pelayan tidak mungkin tuan Arche memerintahkan kami kemari untuk menyiapkan semua keperluanmu, sebaiknya jangan terlalu dipikirkan, Nona."

"Entahlah, aku pusing."

Di Ertigo, seorang wanita berambut blonde itu tengah memperhatikan dirinya sendiri di depan sebuah cermin, perutnya tampak membesar. Tidak lama pintu kamar terbuka, menampilkan seorang pria paruh baya, terlihat lengkungan ke atas pada bibirnya.

Wanita itu bernama Sila, setelah banyak keguguran akhirnya kandungan saat ini bertahan. Dua tahun berlalu setelah kematian permaisuri pertama raja dan malamnya diadakan acara pernikahan, di hari kematian Ratu Zaura juga sang Putri Ertigo pergi dari istana.

"Aku harap Ertigo segera mempunyai seorang pewaris laki-laki, usiaku kian tua. Aku harap kandunganmu ini tidak akan mengecewakan penantian kita setelah sekian lama."

Mendengar itu bahunya turun, dari dulu suaminya ini memang selalu mendambakan seorang anak laki-laki. Tiga kali gagal untuk menjadi seorang ibu, Sila berpikir sejenak lantas berkata, "Aku tidak masalah jika pun anak perempuan yang lahir."

"Tidak, perempuan itu lemah, aku hanya inginkan seorang anak laki-laki." Hanya diam yang mampu Sila lakukan, setelahnya tidak ada lagi percakapan.

Sila jadi bergidik ngeri kala mengingat bahwa mendiang Ratu Zaura tidak diperlakukan dengan baik semenjak kelahiran seorang bayi perempuan, mungkin saat itu Nellaf masih sedikit waras hingga membiarkan anak perempuannya tumbuh besar yang diberi nama Audrey, tapi setelah remaja tepat di hari kematian Zaura, Nellaf mengeluarkan putrinya dari istana dengan tidak hormat, bahkan sudah dua tahun Ertigo tidak mencari di mana keberadaan Putri Audrey.

Hari di mana seharusnya orang-orang Ertigo merasa senang karena lahirnya seorang pewaris, senyuman itu pudar kala mengetahui bahwa yang lahir ternyata bukan seorang bayi dengan jenis kelamin laki-laki.

Di hari itu juga Nellaf membawa bayi perempuannya ke tempat pemenggalan, Zaura lantas berlari untuk menghentikan aksi kejam yang akan dilakukan suaminya. Tatapan tulus dari seorang bayi yang baru membuka matanya, ia lahir ke dunia sebagai seorang bangsawan, namun bukan keberuntungan yang ia dapat melainkan sebaliknya.

Bahkan sejak lahir ia sudah dibenci oleh ayahnya, emosi Nellaf mereda saat bayi mungil itu menatap lekat kedua bola matanya, sedikit menyentuh hati tapi setelahnya kebencian itu kembali muncul. Belum terlambat, Ratu Zaura segera mengambil bayi itu dan mendorong kasar tubuh suaminya.

"Sakiti aku jangan bayiku!"

"Kalau saja dia seorang laki-laki aku akan menyayanginya sepenuh hati, kenapa kau tidak bisa memberikan seorang bayi laki-laki untuk Ertigo!?" Apa jenis kelamin seorang bayi bisa direncanakan? Bahkan sepertinya pikiran Nellaf tidak sampai pada tahap itu. Mungkin saja alam pun heran mengapa pria dengan pemikiran dangkal seperti itu bisa menjadi seorang Raja Ertigo.

"Lihat matanya! Ia mewarisimu, tolong biarkan dia tumbuh dewasa, aku mohon padamu untuk kali ini saja." Nellaf terdiam sejenak, sorot matanya mengarah pada mata kecil yang indah, makhluk kecil yang seharusnya mendapat kasih sayang tapi malah sambut kebencian yang didapat. Tak apa, dari banyaknya yang membenci, tentu Tuhan juga akan menyisakan orang yang akan membersamai.

"Sampai remaja, setelah itu tidak akan lagi kuizinkan dia menginjakkan kakinya di istana ini." Dramatis tapi akhirnya membuat Zaura bernapas lega, Nellaf pergi dengan egonya.

"Tumbuhlah dengan baik, Sayang. Ertigo tidak akan mempunyai seorang pewaris laki-laki, itu sumpahku. Audrey nama yang bagus untukmu, kelak kau yang akan memimpin kerajaan ini bagaimanapun caranya." Zaura mengecup bayinya lama serta menghapus air matanya, ia kembali ke istana. Kala itu, Zaura dengan hatinya dan Nellaf dengan egonya.

"Di mana dia?" Sila menghela napas, harapnya yang lahir nanti adalah seorang putra. Apakah nasibnya akan sama seperti Ratu Zaura jika ia melahirkan bayi perempuan? Segera Sila menepis pikiran buruk di kepalanya.

"Aku akan membawanya kembali ke istana ini, bagaimanapun caranya."

BLOODY PRINCESS [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang