Bab 03. Bloody Princess

603 115 167
                                    

Satu vote dari kalian membuat aku merasa sangat dihargai🥺♥️
______________

"Kalian!?" Kala itu, Zaura memegang dadanya yang kian terasa ngilu melihat adegan tak pantas di depan mata.

Di mana kedua lawan jenis tak terikat dengan pernikahan itu melakukan hal tak senonoh, Zaura menatap jijik. Menyadari istrinya datang, lelaki bernama Nellaf itu segera menutup sebagian tubuhnya dan tubuh wanita itu, tapi terlambat karena Zaura juga sudah melihat semuanya.

Begitu menjijikkan melihat wajah pelayan tidak tahu diri, Zaura menepis tangan Nellaf saat pria itu berusaha memberinya penjelasan. Penjelasan apa lagi? Semuanya sudah jelas.

Bertahan dengan pernikahan ini sama saja seperti membawa dirinya pada kematian secara perlahan, Zaura terlanjur masuk, terlanjur terikat dengan pernikahan, bahkan Zaura berpikir bahwa lebih baik tidak menikah daripada menikah dengan orang yang salah.

"Apa aku pernah menyelingkuhimu!? Mengapa kau begitu menjijikkan, Nellaf!? Bermain dengan seorang pelayan-- sungguh memalukan!" Zaura memukul dadanya yang terus saja terasa sesak, wanita bernama Sila itu membawakan segelas air tanpa rasa malu, Zaura menatapnya nanar.

Senyum picik, Zaura tak sadarkan diri dua menit setelah air itu mulai membasahi tenggorokan. Nellaf panik tapi entah apa yang terjadi, Sila tersenyum senang. Ia mendekatkan diri pada Nellaf dan menenggelamkan wajahnya di dada yang tak tertutup sehelai kain.

"Apa yang kau taruh--" Belum selesai berbicara, Sila sudah menempatkan jari telunjuknya pada bibir Nellaf untuk pria itu diam, tidak tahu dirinya mereka berpelukan di saat Ratu Zaura terkapar oleh air tak sehat.

"Racun." Wanita yang bekerja sebagai pelayan di istana ini, ia mampu memikat hati raja dan masuk dalam buaian.

Bahkan wanita bernama Sila itu sudah menyiapkan berhari-hari untuk racun yang akan ia campurkan pada minuman Ratu Zaura. Tidak tahu saja, terikat pernikahan dengan Nellaf sudah seperti malapetaka, tekanan dan paksaan, bahkan pria itu gila dengan anak laki-laki, ia hanya ingin seorang laki-laki yang akan mewarisi tahtanya nanti.

"Apa!?"

"Bukankah kau menginginkan kematiannya? Kalau begitu jangan marah. Aku juga ingin kita segera menikah," ucap Sila tanpa melepaskan pelukan.

Malam itu juga tabib menyatakan bahwa Ratu Zaura telah tiada, Nellaf mengabarkan bahwa kematian Zaura karena disebabkan meminum racun, Nellaf membuat rumor seolah Ratu Zaura mati bunuh diri.
Kebencian, siapa yang tidak membenci jika seperti ini.

"S-siapa kalian?"

"Kami pelayan yang akan mengurusi semua keperluanmu." Dilanda kebingungan, pintu dengan corak emas itu terbuka dan menampilkan sesosok pria bertubuh tinggi, rahang tegasnya semakin memperindah tampilan wajah.

"Kau tertidur di hutan semalam, berterima kasihlah karena aku telah membantumu. Kau telah berhutang budi padaku," ucap pria bernama Arche itu. Arche adalah seorang putra dari Duke Sharosend, Arche menyukai kegiatan berburu tanpa terkecuali saat di malam hari.

Malam tadi saat Arche sedang berburu mengejar seekor harimau, atensinya teralihkan dengan seorang gadis yang sedang tertidur tenang. Tanpa berpikir panjang, Arche lantas membawa gadis itu pergi ke kediaman.

"Tidak ada yang menyuruhmu untuk membantu dan membawaku kemari, jadi untuk apa aku berhutang budi, Tuan? Lelucon sekali."

Audrey masih dengan rasa sakit dalam hatinya, saat masih dalam suasana duka dan malam itu juga Audrey terusir dari istananya sendiri, susah payah Audrey menelan saliva serta membisikki diri, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Kau berada di kediamanku sekarang, kediaman Sharosend wilayah Harland. Aku menemukanmu di hutan dan tidak melihat tanda-tanda bahwa kau itu seorang bangsawan, penampilanmu juga seperti gembel. Kebetulan aku sedang membutuhkan pelayan baru."

Audrey mendengus kasar, satu alisnya terangkat sempurna. "Lalu?"

"Jadi pelayan di kediaman ini."

"Tidak," bantahnya.

"Kau tidak bisa membantahku, Nona." Mendengar itu Audrey mendengus dan mendorong kasar tubuh pria di depannya, tapi lagi-lagi pria itu membuka mulut hingga mampu menghentikan langkah kaki.

Audrey serasa gila, ia muak dengan semua drama kehidupan, ditambah dengan kehadiran laki-laki ini, tampang sombong itu begitu menyebalkan untuk dilihat. Audrey tak bisa berpikir jernih, Audrey selalu berpikir bahwa di dunia ini ia hanya sendirian, bahkan sulit rasanya untuk percaya pada seseorang.

"Kau akan ke mana? Aku menemukanmu di hutan Ertigo dan ini wilayah kerajaan Harland, cukup jauh."

"Diamlah! Apa kau tidak tahu siapa aku!?" Detik setelah mengatakan itu Audrey merutuki diri atas ucapannya, salahkah jika ia mengaku bahwa dirinya adalah Putri Ertigo? Sebaiknya ia menyembunyikan ini, wajar sekali jika pria di depannya tidak tahu ia siapa karena tidak banyak orang tahu mengenai bagaimana bentukan dari sosok Putri Audrey, Audrey hanya dikenali oleh beberapa orang terdekat.

Alasan mengapa Audrey dibenci oleh rakyat bukan karena parasnya yang jelek, tidak seperti itu karena nyatanya Audrey putri yang cantik. Rumor buruk itulah, bahkan Ertigo sendiri yang membuat nama Audrey menjadi buruk sehingga kebencian rakyat semakin menjadi, nyatanya Audrey tidak melakukan apa pun.

"Siapa?"

Audrey tampak berpikir, setelahnya ia berucap, "Tidak, lupakan."

"Gadis aneh, baiklah aku rasa kau tidak hilang ingatan. Jadi, siapa namamu?" Mendengar itu Audrey diam sejenak, ia menghela napas berat.

"Lena."

"Hm, nama yang bagus, kau bisa memanggilku Arche atau--"

"Tidak, aku akan memanggilmu tuan."

"Terserahmu." Sebal sekali ketika bicaranya belum selesai tapi sudah dipotong begitu saja, Arche mendengus sebal.

Audrey acuh, satu alisnya kembali terangkat dan ia bertanya, "Jadi begini caramu mendapatkan pelayan?"

"Bagaimana?"

"Membawa seorang perempuan pergi ke kediamanmu dan memaksa mereka untuk menjadi pelayan tanpa boleh mereka menolaknya." Mendengar itu Arche mengangguk pelan walau yang sebenarnya tidak seperti itu, tentu saja mengapa ia bersusah payah membawa perempuan ke kediamannya hanya untuk dijadikan seorang pelayan. Arche membawa Audrey kemari karena ia mempunyai rasa kasihan, mungkin.

"Ya, apa salahnya? Seharusnya kau berterima kasih, kau tidak akan menjadi gelandangan di hutan seperti kemarin."

"Terima kasih." Arche sedikit terkejut, gadis di depannya ini sangat terlihat bahwa ia berwatak keras dan sombong. Apa tidak salah Arche mendengar gadis itu mengatakan terima kasih? Sepertinya suatu hal yang langka ketika gadis keras itu merendahkan dirinya.

"Kau berterima kasih? Sungguh--"

"Apa terdengar aneh? Aku rasa itu bukan hal yang salah, karenamu aku mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan." Arche mengendikkan bahu acuh lantas keluar dari ruangan itu meninggalkan Audrey bersama para pelayan.

Pikirannya mulai berjalan tenang, sedikit menyesal dengan keputusan beberapa menit lalu, beruntung sekali pria itu mencegahnya untuk pergi, lagipula benar, kalau ia pergi dari sini tentu saja ia hanya akan menjadi gelandangan.

BLOODY PRINCESS [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang