"Maafkan Ibu tapi nyawaku lebih penting dari seorang bayi sepertimu." Tanpa merasa bersalah atas dosanya hari ini, wanita bernama Sila itu lari ke arah timur menghindari huru-hara yang terjadi. Bayinya ia taruh di antara rerumputan, Sila bodoh.
"Kita habisi saja bayi ini."
"Tidak. Ini bayi laki-laki, kita tidak tahu beberapa tahun ke depan bahwa mungkin saja bayi ini yang akan membalaskan semuanya," balas salah seorang prajurit itu. Memang hanya sebagian yang pergi ke kediaman Duke Falcone di selatan kerajaan, sementara sebagian tetap memantau keadaan istana Ertigo.
"Apa maksudmu?"
"Aku masih sangat menaruh benci atas kekejaman dari Raja Nellaf, memang sudah bertahun-tahun lalu, tapi aku tetap membencinya.
"Apa kau ingat saat dia membuat keputusan untuk membunuh setiap bayi perempuan yang lahir? Menghabisi para ibu tanpa hati, sementara dia sendiri mempunyai seorang istri dan putri?" Teo mengangguk mendengar penjelasan dari Teri, temannya.
"Di mana rasa kemanusiaanmu!? Kau akan menghabisi kami!? Bukankah kau raja dan tidak seharusnya kau membuat keputusan bodoh seperti ini!?" jeritan seorang ibu kala itu saat melihat anaknya hanya tinggal nama. Tidak berhenti di situ saat ternyata raja tak berhati juga menyiapkan api besar dan menyuruh semua wanita yang ada di sana untuk mencebruskan diri.
"Matilah kalian para mesin penghasil anak! Hahaha!" Puas dengan tawanya, Audrey kecil dan Zaura yang melihat perbuatan kejam Nellaf tak bisa melakukan apa-apa atau mereka juga bisa-bisa ikut mati.
Sorot mata Audrey menjadi sumber pertama untuk ingatan itu tetap ada sampai usianya beranjak dewasa. Semua orang mengutuk perbuatan sang Raja Ertigo, keturunan Edward tak tahu diri dan di masanya hari-hari terasa berat juga suram.
"Nellaf mempunyai seorang putri, aku harap putrinya tidak mewarisi perbuatan laki-laki tak tahu diri itu, walau begini aku masih mempunyai hati." Teri berkata sendu diangguki oleh Teo, mereka berkata sembari melihat tatapan bayi polos di bawah mereka.
"Ya, aku juga berharap tak ada lagi peperangan, semua kerajaan sampai pada masa kejayaannya. Tapi, bagaimana dengan bayi ini? Apa kau mau mengurusnya?"
"Aku akan mengurusnya," ucap Teri lantas pergi menunggangi kuda.
Ia berjanji pada Teo dengan mengatakan untuk kembali lagi, dengan hati-hati Teri membawa bayi itu sampai pada kediamannya, memberikan bayi itu pada sang istri untuk diurus, setelahnya Teri segera kembali. Sila lari entah ke mana kaki kurus nan jenjang itu membawanya, pikirannya gelap. Setelah cukup jauh pergi dari wilayah istana Ertigo yang sudah tak lagi berbentuk itu, kini Sila beristirahat di bawah sebuah pepohonan.
Layaknya kehilangan akal, Sila menyeringai dengan senyum yang tertahan, gaun putih yang ia kenakan sudah tak lagi cantik, kulitnya tak lagi mulus sebab goresan ranting, tanpa sadar bahwa ia sekarang sudah berada di dalam hutan.
Tekanan yang ia dapat selama ini dari Nellaf sang suami, dulu Sila berpikir bahwa bersuamikan seorang raja akan membuat hidupnya merasa tenang tapi nyatanya jauh dari itu.
Dalam beberapa waktu Sila meratapi bagaimana buruk perbuatannya, dengan tangan kotor ia berani mencampurkan racun kematian dalam minuman untuk Ratu Zaura, dulu. Sesekali dalam meratapi itu semua, Sila menangis mengingat bahwa Ratu Zauralah yang membuatnya berada di istana Ertigo dan membuat Sila bisa bertahan hidup.
Sila hanya seorang penjual ubi yang nyaris tidak berpenghasilan karena dagangannya sendiri jarang sekali habis, mengais upah dari membantu orang-orang sekitar dan keadaan Sila saat itu sangat miskin bahkan melarat. Berada dalam pelosok, jauh dalam jangkauan orang-orang kerajaan, tapi hari itu layaknya hari keberuntungan untuk seorang Sila, gadis penjual ubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY PRINCESS [SUDAH TERBIT]
Fantasi"Edward, Sila, Darla, Arche, Mione, Hena, Nellaf, semuanya belum selesai. Cerita ini menggantung!" Saat menoleh, Dreya tak lagi menemukan penyihir itu di dekatnya. Dreya melangkah lunglai, ia menatap menara dan bangunan yang menjulang tinggi dari ke...