A MAN

54 6 2
                                    

Tubuhnya telah pulih.

Kali ini penyiksaannya terasa lebih cepat. Ternyata tidak sadarkan diri seperti itu sangat membantu.

Skithia menopang punggungnya disisi pohon. Kulit yang robek dan lengannya yang patah telah pulih. Tapi sepertinya, proses pemulihannya memakan waktu yang cukup lama. Skithia bahkan tidak bisa melihat dirinya sendiri di tengah gelapnya malam.

Suara gemerisik-

Skithia terhenti. Jantungnya mungkin juga akan ikut berhenti seandainya-"Siapa..."

Hening.

Kepalanya terasa berat, namun rasa takut yang menggerogoti Skithia memaksanya untuk berdiri. Dengan susah payah ia memeriksa sekelilingnya, berusaha fokus pada suatu hal yang mungkin bersembunyi di tengah kegelapan itu.

Gemerisik.

Lagi.

"Kumohon," napas Skithia tertahan,"-jangan menakutiku."

Skithia terpaku, jantungnya berdegup kencang saat suara klakson mobil yang melintas di atasnya mengejutkannya setengah mati. Kedua tangannya telah menutupi telinganya dan pada saat yang sama-

Suara gemerisik.

Kedua kaki Skithia berubah seperti jeli. Air mata membasahi pipinya.

Skithia meraba tembok yang ada disisinya. Melangkah seperti orang buta dan menempelkan punggung ke tembok yang ada di belakangnya. Ia tidak peduli lagi. Jadi, apapun yang mungkin menyerangnya, ia sungguh tidak lagi peduli. Karena itulah dengan memberanikan diri, Skithia berhasil mencapai tangga dan terseok-seok sembari berlari menuju cahaya yang berada tidak jauh di depannya.

Skithia menyeka air matanya lalu berbalik saat sebuah bayangan hitam berhasil membuatnya terpental hingga beberapa meter ke belakang. Dadanya seakan remuk. Pukulan itu terasa seperti hantaman sebuah bongkahan batu yang terjatuh dari atas ketinggian, berguling kencang kearahnya, lalu menghantam dada dan tubuhnya tanpa belas kasihan.

"Kumohon..." darah membasahi mulut Skithia, ia terhuyung saat hendak bangkit.

Matanya menyapu seluruh tempat dengan putus asa. Tidak ada siapapun.

Skithia menyeka air mata dan darah dari bibirnya. Ini baru hari kedua. Sepertinya ia akan mati sebelum waktunya. Skithia terisak, menahan suaranya, ia hanya ingin hidup seperti manusia normal lainnya. Sungguh.

Jalanan itu kosong. Sekilas Skithia memang tidak melihat siapapun ada di sana bersamanya. Namun ia tahu, ada sesuatu yang sedang mengawasinya di tengah kegelapan. Sejujurnya ia belum pernah dilatih untuk berkelahi dengan mahluk manapun. Selama 22 tahun hidupnya, Skithia hanya diberikan pemahaman bahwa dia tidak boleh mati. Salah. Lebih tepatnya, komite tidak mengizinkan Skithia untuk mati.

Dia bahkan tidak memiliki hak untuk memutuskan hidupnya sendiri.

Sekarang Skithia menyesali satu hal.

Harusnya ia memohon pada komite untuk memberikannya pelatihan untuk membela diri seandainya ia tahu akan dibebaskan seperti ini. Bodoh. Pikirnya. Skithia yakin bahwa ia bahkan tidak akan bisa melewati malam ini tanpa memar di tubuhnya. Kemarin juga begitu. Skithia dipaksa untuk bersembunyi dari para pria menjijikkan yang memaksanya untuk menari telanjang di bar. Skithia tidak tahu kalau manusia ternyata tidak memiliki adab. Mengapa mereka memaksanya untuk telanjang? Para komite, sekalipun mereka begitu kejam padanya, mereka tidak pernah meminta Skithia pergi ke ruangan manapun tanpa pakaian di tubuhnya. Sungguh. Jika Skithia tahu bahwa manusia yang ada di luar sini ternyata lebih jahat dibandingkan Dr. Jam Miller, ia tidak akan pernah meminta untuk keluar dari ruang riset.

SKITHIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang