DIFFERENCE

16 3 0
                                    

Ia ingin jujur. 

Pria ini mungkin bisa memberikannya rumah. Tapi Skithia tidak ingin pria ini menghadapi kekacauan yang mungkin datang untuk menghancurkannya. Dan Skithia tidak ingin menjelaskan pada pria ini bahwa ia khawatir akan keselamatannya. Skithia khawatir kalau Hun mungkin saja terluka karena keberadaannya.

Hun belum pernah menerima sebuah pukulan yang begitu feminin di dadanya. Ia bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Gadis ini terlihat jengkel akan sesuatu. Terlihat tidak nyaman akan sesuatu. Tunggu dulu—Hun tidak merencanakan ini. Ia ingin memperalat gadis ini untuk perburuannya. Tapi sepertinya rencana itu telah hancur bahkan sebelum ia sempat untuk memulainya.

"Kau tidak perlu menyukai apapun." Hun menghadang gadis itu saat ia terlihat akan menerobos dari sisi kanan. Lengan Hun melingkar di pinggang Skithia saat gadis itu berhasil melewatinya.

Hun membeku. Tatapannya jatuh ke atas punggung gadis itu.

Jemarinya menyentuh luka tusukan dan bekas suntikan yang terbentuk di sepanjang punggungnya. Hun memeluk Skithia dari belakang, menahan gadis itu agar tidak bergerak,"Berapa lama mereka mengurungmu disana?" tanyanya sembari menelusuri setiap luka dan bekas suntikan yang ia lihat. Amarah yang anehnya terasa asing, merambat dalam dada Hun. Ia tidak suka melihat gadis ini terluka. Gadis ini pasti telah disiksa sejak ia masih begitu muda.

Para bajingan itu.

"Aku sudah ada di sana sejak aku ada," balas Skithia.

"Kau bahkan tidak tahu kapan kau dilahirkan?" balas Hun, kemudian memaksa gadis itu untuk berbalik kearahnya dan menatapnya dengan serius. "Kau tidak tahu kapan mereka menculikmu atau mengambilmu dari orang tuamu?"

"Aku tidak tahu apa maksudmu." Skithia menatap sesuatu yang bergerak di balik leher pria itu dengan rasa takjub. Ia mengangkat jemarinya lalu menyentuhnya dengan hati-hati,"Ada sesuatu yang terjebak disini." Penjelasan itu membuat Hun mengerutkan dahi. "Kau tidak merasa kesakitan?"

Hun menangkap jemari itu dan menjawab dengan perasaan jengkel,"Setiap pria memiliki jakun. Apa kau juga ingin memilikinya?" balas Hun, kemudian menggeleng. Gadis ini pintar mengalihkan pembicaraan. "Aku harus mengatakan, orang tua adalah bagian dari dirimu. Seperti seseorang yang memiliki benih di tubuhnya dan melahirkanmu—"

Skithia tampak tidak peduli,"Bagaimana benda ini bisa ada di lehermu? Aku tidak melihatnya di leher para pria yang kutemui di jalanan—" ia kembali mengulurkan tangan untuk menyentuh—"kau pasti sedang sakit keras." Ungkapan itu dijelaskan dengan ekspresi paling menyedihkan yang pernah Hun lihat dalam hidupnya.

Hun tidak pernah dikasihani oleh siapapun dalam hidupnya karena memiliki jakun.

"Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas jakun, Gadis Manis." Hun menarik Skithia untuk duduk di sofa, merasakan gairahnya kembali saat tubuh indah itu hampir terekspos seluruhnya. Lalu dengan mengumpulkan kekuatan dari seluruh alam semesta, Hun melangkah cepat ke dalam kamar, lalu muncul dihadapan gadis itu sedetik kemudian dan menutupi payudara yang indah itu dengan pakaian. Hun yakin bahwa dirinya sudah gila karena sanggup menahan diri seperti ini. Sekalipun ia belum pernah membawa seorang wanita pun pulang ke rumahnya, namun Hun sudah hidup 42 tahun, dan ia telah bercinta dengan beberapa mantan kekasihnya dengan penuh gairah. "Apa para manusia yang bekerja di ruang penelitian itu tidak seorang pun yang berjenis kelamin pria?"

Skithia tampak berpikir,"Aku tahu ada beberapa dari mereka yang berjenis kelamin pria. Tapi aku tidak pernah melihat mereka melepaskan jubah putih dan helmet kaca yang ada di kepala mereka setiap kali mengunjungi ruanganku." Jemarinya kembali ke jakun Hun dan menelusurinya dengan rasa penasaran.

Hun hampir tidak percaya dengan sorot mata yang dipenuhi kejujuran itu,"Apa kau akan menyentuh setiap perbedaan yang kau lihat di tubuhku?" ceplosnya, bermaksud menyindir namun terkejut bukan main saat mata indah itu balas menatapnya.

"Apa aku boleh?" tanya Skithia.

Hun membasahi bibir, pikirannya melayang ke suatu tempat yang jelas sangat ia izinkan untuk disentuh oleh gadis itu. Namun ia menggeleng, terkejut dengan pemikiran kotornya dan menangkap kedua tangan yang dari tadi sibuk menyentuh leher, tidak, jakunnya.

"Kau tidak boleh menyentuh bagian apapun yang berbeda."

"Sungguh tidak boleh?" Skithia terkejut, menarik tangannya.

Kedua mata Hun mengerjab, ada sesuatu dalam dirinya yang kecewa,"Tidak, bukan itu maksudku. Kau tidak boleh menyentuhnya, sampai seseorang itu mengizinkanmu untuk menyentuhnya." Kalimat itu keluar dengan begitu lancar dari mulut Hun. Namun otaknya menolak ide bodoh itu. Hun sungguh tidak setuju dengan omong kosongnya sendiri.

"Kau menyentuh bagian ini," Skithia mengarahkan jemarinya ke depan payudaranya dan memandangi Hun dengan rasa jengkel. "Aku tidak mengizinkanmu samasekali."

Hun hampir saja tertawa. Sorot mata itu membuat Hun ingin menggigitnya. "Katakan sekali lagi," pintanya.

Skithia tidak paham namun mengulangi kalimatnya,"Kau menyentuh bagian ini. Kau tahu aku tidak mengizinkanmu samasekali." Mata indah berwarna hazel itu menyipit membentuk bulan sabit. Skithia menggigit bibir dalamnya, benar-benar merasa jengkel mengetahui kebenaran itu. Lalu protesnya berlanjut saat pria itu hampir menyentuh dagunya,"Jangan menyentuh daguku."

Hun berdiri, menarik gadis itu bersamanya. "Mandilah, sebelum aku berubah pikiran dan menelanjangimu tanpa izin." Kalimat itu tidak sungguh-sungguh. Hun pasti sudah gila jika ia telah berencana untuk membalaskan dendam gadis ini kepada para peneliti gila itu. Entah apa yang merasukinya, Hun hanya merasa tidak senang dengan pemikiran bahwa gadis ini telah disiksa oleh mereka, tidak mengetahui asal-usulnya, terluka dan memohon seperti tikus percobaan yang tidak berdaya.

Skithia meremas jari telunjuk pria itu, mengikuti langkahnya dan menyadari bahwa punggung Hun begitu lebar dan kokoh. Otot-otot itu pasti telah ada disana untuk waktu yang lama dan berasal dari latihan yang tidak mudah pula. Ada beberapa luka sayatan disana, namun luka-luka kecil itu tampak tidak berarti. Tidak hanya itu, Skithia belum pernah melihat bahu dengan lekuk semenakjubkan itu. Bahu Hun terlihat seperti jalinan akar pohon yang telah tua. Kuat dan cocok untuk dijadikan tempat berayun. Aneh rasanya melihat pria ini mengizinkannya untuk terus ada di rumah ini mengingat pertikaian mereka beberapa hari lalu. 

Seolah Skithia tidak pernah terlibat masalah dengan mahluk buas ini. 

SKITHIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang