ASSOCIATION

17 1 1
                                    

Hun terbangun. 

Ruangan hening yang ada di alam bawah sadarnya mendengar sebuah suara. Ia mengulurkan tangan, memastikan Skithia masih ada dalam dekapannya. Sambil memejamkan mata, Hun berusaha fokus pada suara itu—

Brad memanggilmu kehadapan Asosiasi.

Kali ini Hun benar-benar membuka matanya. Ia menyadari bahwa Montana masuk ke dalam pikirannya. Sebelum benar-benar fokus pada suara itu lagi, Hun merasakan sentuhan Skithia pada telinganya. Melayangkan pandangan kerinduan pada wajah mungil itu, Hun mengangkat Skithia. "Sepertinya, kau sudah ketahuan." Hun merasakan keterkejutan ketika gadis itu memutuskan untuk melompat turun dari dekapannya. "Perhatikan langkahmu, kita harus menuju ke suatu tempat."

"Tunggu." Skithia menarik lengan baju Hun, gelisah mengetahui kabar buruk itu. "Kau—apa kau akan baik-baik saja?" Skithia lebih memilih lompat ke dalam lahar daripada harus melihat Hun di lukai oleh seseorang. Ia pernah kehilangan sesuatu yang begitu berharga dalam hidupnya, satu-satunya tempat bagi Skithia untuk pulang. Namun ingatan masa kecilnya bersama gadis kecil itu tidak begitu jelas, ia bahkan tidak yakin apakah gadis itu nyata atau tidak. Hanya saja, Skithia merasa begitu sedih. Satu-satunya hal yang dapat ia ingat adalah rasa kehilangan yang muncul dalam dirinya.

Hun berdiri disana, menegakkan tubuhnya. "Kalimatmu seolah ingin menghinaku." Gadis ini pasti berpikir bahwa Hun dapat di bunuh semudah itu. "Kau pikir ada seseorang yang dapat melukai—"

"Aku melukaimu," sela Skithia, ia tidak sedang bercanda.

Hun merasakan mahluk mungil yang ada dihadapannya saat ini—berbeda. Skithia tampak seperti seorang dewasa dengan sorot mata yang dipenuhi keseriusan. Mengingatkan Hun tentang banyaknya rasa kehilangan yang mungkin telah dialami oleh gadis ini selama hidupnya. Jadi sepertinya Hun tidak boleh bercanda setiap kali gadis ini mengerutkan dahinya. Ia harus menghafal kebiasaan Skithia yang satu itu. 

"Saat aku memutuskan untuk membawamu ke rumah ini, itu artinya—aku dapat menjamin, baik dirimu ataupun aku, akan tetap hidup." Kalimat itu adalah final. Sekalipun Hun harus mati, itu adalah sumpahnya pada gadis ini.

"Aku tidak ingin kau mati." Skithia menangis.

Hun hampir saja mencungkil matanya sendiri melihat gadis itu menangis dihadapannya. Ia tersentak, Skithia berjongkok, menutupi wajahnya dengan lengan, lalu terisak seperti anak kecil yang kehilangan arah. Terlalu terkejut, perasaan asing dalam diri Hun membuatnya ingin menghajar wajahnya sendiri. Hun pasti telah membuat gadis ini ketakutan setengah mati mendengar kabar buruk yang ia ucapkan tanpa pertimbangan apapun. Kabar buruk yang begitu sepele dan tidak berarti baginya, namun seperti tembakan timah panas di jantung gadis ini.

Hun tidak berani menyentuh Skithia, takut gadis itu akan menolaknya dan menangis lebih keras. Kemudian Hun ikut berjongkok,"Apa yang harus kulakukan saat kau menangis dihadapanku seperti ini?" Itu pertanyaan serius. Hun sungguh tidak tahu harus melakukan apa. Ia sudah bertemu banyak wanita, namun gadis ini—wanita yang belum begitu dewasa ini, adalah yang paling rumit dan paling cengeng yang pernah Hun temui.

"Kau tidak akan terluka?" Skithia mengintip dari balik lengan. Hun dapat melihat mata sembab itu dengan jelas. "Jika aku tahu kau akan terlibat masalah karena diriku, Hun—aku memilih pergi dari rumah ini."

Hun menarik gadis itu dengan perlahan ke pelukannya, kemudian menggendongnya secepat kedipan mata. "Tidak seorang pun yang mau terlibat masalah denganku, Gadis Manis." Hun melangkah menuju kamar dan membaringkan Skithia disana. Tanpa memedulikan fakta bahwa Brad mungkin saja sudah menyiapkan beberapa peluru untuk di tembakkan ke tubuhnya. Tidak. Sejauh Hun mengenal pria itu, Brad tidak pernah membiarkan mangsanya mati begitu saja. Lebih kurangnya, Brad pasti akan bermain-main dengan mangsanya sebelum akhirnya membunuhnya. Hun agak mengkhawatirkan nyawa Sang Theron yang satu itu. Jika mereka memang harus bertarung malam ini, Hun sudah siap. "Kau pernah melihat masalah yang lebih besar dari seorang Hun?"

Keangkuhan dan harga diri.

Skithia menyukai ciri khas Hun yang satu itu,"Aku ingin menciummu."

Kamar itu hening total. 

Skithia akan melompat dari atas tempat tidur seandainya Hun tidak segera datang dan—menciumnya. Pria itu tiba dihadapannya, melumat bibirnya dengan rakus dan tersenyum. Skithia tidak memahami apapun. Fakta bahwa pria ini membuat pikiran Skithia tidak tenang, membuatnya semakin ingin terus berada disisi Hun. Namun pemikiran itu membuat Skithia lebih tidak tenang, ia tidak ingin menyulitkan pria ini terus menerus. Suatu hari nanti, Skithia akan benar-benar pergi dan meninggalkan Hun sebagai ucapan terima kasihnya. Ia harus memutuskan kapan waktu yang tepat. Skithia tidak boleh seperti ini pada Hun. Pria ini pasti juga ingin bebas dan menjalani hidupnya seperti sebelumnya. Walau begitu, Skithia merasa agak sedih. Sesuatu yang begitu menyakitkan, perasaan yang sama ketika ia kehilangan teman yang ada dalam ingatannya itu, muncul di dalam dirinya. Skithia sepertinya akan merasa sangat sedih jika harus pergi dan meninggalkan Hun.

"Ganti bajumu, kita berangkat sekarang." Hun menarik diri. Lebih tepatnya, memaksa untuk menarik diri. Ia ingin terus mencium Skithia seandainya Montana tidak berteriak dalam benaknya.

Apa yang terjadi?! Kau melakukan kesalahan apa sampai Brad mencarimu?

Skithia telah tiba di depan pintu saat Hun menghidupkan mesin motor.

Hun memandangi Skithia. Gadis itu mengenakan syal merah muda, baju berlengan panjang warna biru dan celana jins putih. Samasekali tidak mengetahui arti fashion. Hun tersenyum, apapun itu, Skithia selalu kelihatan cantik. "Ayo naik."

Skithia naik ke atas motor dan tersadar bahwa ini kali pertamanya keluar dari rumah setelah berhari-hari. Pria besar yang duduk di depannya terasa seperti tameng berukuran jumbo. "Aku—" satu hal lagi yang harus Skithia akui adalah,"...belum pernah naik sepeda motor."

Hun menurunkan kaca helmetnya dan tersenyum,"Aku tahu."

Skithia tersentak, memeluk Hun dengan kuat.

"Aku akan menghajarmu, Hun!" teriak Skithia saat laju motor itu membuatnya hampir terbang di udara. Pria itu tertawa, Skithia dapat mendengar suara tawanya yang tersapu oleh angin. Skithia memejamkan mata, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak suka sepeda motor. Sampai kapanpun tidak akan pernah—"Hun! Kau sudah gila?!" Teriakannya terdengar di sepanjang jalan, namun Hun tidak menggubrisnya samasekali.

Jadi, beginilah akhir hidupku—pikir Skithia.

SKITHIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang