1. Peraturan, Larangan, dan Celaka

1.1K 154 9
                                    

Layaknya burung yang beterbangan bebas di udara, Arjuna juga demikian, ia tidak pernah mendapatkan tuntutan untuk menjadi sempurna, tidak pernah mendapat tekanan untuk bisa selalu menjadi si nomor satu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Layaknya burung yang beterbangan bebas di udara, Arjuna juga demikian, ia tidak pernah mendapatkan tuntutan untuk menjadi sempurna, tidak pernah mendapat tekanan untuk bisa selalu menjadi si nomor satu. Sebagai anak satu-satunya, Juna sangat beruntung memiliki Bapak yang selalu mendukung apapun keputusannya. Selalu menjadi orang pertama yang menjadi pelindungnya, selalu maju satu langkah di depan Juna jika Juna berada dalam bahaya.

Bapak adalah segalanya, untuk Juna. Entah bagaimana nasibnya jika tidak ada pria yang dirinya sebut bapak itu. Juna memang bukan anak berprestasi yang mempunyai banyak piagam atau piala yang terpajang di ruang tamu, bukan anak yang aktif dalam organisasi maupun ekstrakurikuler. Tetapi namanya dikenal di seluruh penjuru sekolah, Arjuna Restu Langit, terkenal dengan kesederhanaan.

Juna adalah satu-satunya siswa yang memakai sepeda untuk berkegiatan. Di bawah pohon mangga, sepeda miliknya selalu terparkir, tidak peduli dengan ratusan motor bahkan mobil di sekitarnya, Juna selalu mengusir siapapun yang berani merebut tahta sepedanya.

Sepeda itu adalah hadiah dari Ibu, beberapa hari sebelum meninggalkan dirinya untuk selamanya. Juna pernah sedih, sangat sedih sampai ia tidak tahu apa masih ada kesedihan yang melebihi hari itu.

Bapak dan Ibu, dua orang yang tidak akan pernah Juna hilangkan dari hatinya, tidak akan. Jika bapak selalu menjadi pahlawan pelindungnya, maka Ibu adalah malaikat. Hidup Juna pernah sesempurna itu.

Hingga detik ini tiba, entah bagaimana Juna menjabarkannya, ia pernah sedih sebelumnya, malam ini Juna kembali merasakannya. Tak hanya kesedihan, tapi juga ketakutan, takut akan kehilangan, untuk kedua kalinya.

"Bapak nggak apa-apa lho, Jun."

Entah sudah berapa kali bapak berkata demikian, seharusnya Juna bisa lebih tenang, nyatanya tidak. Ia justru semakin takut, kata tidak apa-apa bukan berarti baik dalam kamusnya. Kurang dari tiga puluh menit yang lalu bapak dibawa pulang oleh beberapa warga beserta plastik berlogo klinik terdekat berisi obat, bapak pingsan saat meronda, kata mereka.

Juna hanya mampu tersenyum simpul seraya membaringkan dirinya di samping bapak seraya berkata, "Kalau bapak baik-baik saja, maka buat aku jadi baik-baik aja juga, Pak."

🅖︎🅦︎🅔︎🅝︎🅧︎🅨︎🅛︎🅞︎🅝︎🅐︎

"Untuk pekerjaan, kalian bisa datang ke alamat ini." Sadewa memberikan sebuah kertas berisi alamat.

Yudhis menerimanya, kepalanya mengangguk beberapa kali melihat alamat yang tertera di sana, ternyata pak gurunya ini tidak main-main. Mereka tiba di kost kurang lebih lima belas menit yang lalu, rumah kost ini terlihat lebih nyaman dan luas dibanding sebelumnya yang Sena tempati, Sena bisa langsung menematinya hanya dengan uang lima puluh ribu rupiah. Seharusnya tidak boleh, tapi melihat Sena sudah mirip gembel, Sadewa jadi kasihan.

"Kalau begitu, saya pamit pulang-"

"Saya gimana, Pak?" Sela Yudhis, pemuda itu menatap Sadewa penuh harap.

Mr. Physics & SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang