7. Saya Bukan Maling

595 101 11
                                    

Tengah malam, Sadewa memandang nanar layar di hadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tengah malam, Sadewa memandang nanar layar di hadapannya. Baru saja selesai membaca sebuah artikel lama, di sebelah tangannya juga banyak sekali tumpukan koran berisi berita yang sudah terjadi hampir delapan belas tahun lalu. Media mengatakan, kebakaran gereja yang terjadi malam itu karena listrik yang bermasalah, semua orang percaya dengan itu, tidak ada lagi penyelidikan lebih lanjut mengenai gereja yang sekarang dibiarkan rata dengan tanah itu.

Kebakaran terjadi karena korsleting listrik, itu yang tertulis, namun kata detektif yang dirinya turunkan untuk menyelidiki, kebakaran bukan karena hal tersebut. Melainkan di sengaja. Entah siapa yang melakukannya. Detektif tersebut tahu, sebab saat kejadian, ada seorang pria yang bertanggung jawab dengan listrik gereja mengatakan, saat itu, ia tengah memastikan tidak ada yang bermasalah dengan listriknya. Pria itu selamat, dan bisa memberi kesaksian pasca lima tahun kejadian.

Kabarnya, hanya dia seorang yang selamat, tidak ada yang lain. Nyatanya, dari rekaman CCTV jalan, memperlihatkan dua buah mobil keluar dari area gereja saat kebakaran melanda. Hingga sekarang, kedua mobil tersebut tidak ditemukan. Kemudian beberapa minggu lalu, ibunya mengatakan jika salah satu mobil itu adalah milik dari salah satu orang terhormat. Satu mobil lagi diketahui tidak terdaftar, dapat dipastikan, yang melakukan kejahatan adalah orang dibalik mobil yang tidak terdaftar.

Lantas, mobil yang satunya? Siapa orang terhormat itu? Orang yang sangat berkuasa, hingga untuk mengambil informasinya saja tidak bisa, pemilik dirahasiakan. Yeah, derita Sadewa.

Jasad kakaknya ditemukan, tapi bukan itu yang ingin Sadewa selidiki. Ia hanya ingin tahu, siapa yang beraninya membakar gereja, yang tengah dijadikan tempat baptis oleh kakaknya?

Nyaris delapan belas tahun, Sadewa tak kunjung menemukan jawaban, rasanya ingin sekali marah, tapi tak tahu dengan siapa. Sadewa menggenggam ponselnya kian erat, memikirkan kejadian yang menimpa kakaknya, selalu membuatnya sedikit emosional.

Beberapa saat kemudian, ponsel di tangannya bergetar, sebuah panggilan dari ayahnya. Dengan segera, Sadewa menerima panggilan tersebut. "Iya, Pa?" Bukanya.

"Sadewa, Ya Tuhan, kamu apakan perusahaan?"

Sadewa menghela napas, "Iya, Papa cepat sembuh, bantu aku memperbaiki ini semua. Aku sibuk di sekolah, Pa. Nggak bisa maksimal mengurus perusahaan."

"Tinggalkan saja sekolah itu! Lagipula, dapat apa kamu di sana? Menjadi guru di negri ini tidak dihargai, untuk apa kamu bekerja keras, gajimu menjadi guru bahkan tidak cukup untuk makanmu satu bulan."

"Maaf, Pa." Sadewa menyudahi panggilan secara sepihak. Ia beranjak dari ruangan tersebut, sepertinya tengah malam memang bukan waktunya untuk bekerja.

Melangkah menuju kamarnya dengan santai, saat tiba-tiba, seseorang memanggilnya, "Dewa!" Sadewa terlonjak, tak biasa dengan seorang perempuan di rumah ini, biasanya hanya ada suara ART wanita, bukan suara Sesya yang lembut seperti ini.

Mr. Physics & SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang