Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Eleutheria, atau biasanya dipanggil Mbak Ute, wanita tiga puluh lima tahun yang sudah bekerja dengan keluarga Soenggono sejak sepuluh tahun lalu. Ia belum menikah, atau lebih tepatnya, ia memang tak ingin menikah, Thalia, ibu Naka sudah berkali-kali mengingatkan untuk menikah, tetapi Mbak Ute selalu menolak. Entah apa alasannya. Sejauh ini, hidup Mbak Ute hanya menjaga Naka, menuruti perintah Thalia, terkadang juga liburan sendirian.
Siang ini, setelah lebih dari satu bulan Nakula tak menginjakkan kakinya di bangunan megah milik orang tuanya, kini pemuda itu terlihat berjalan gontai menaiki satu per satu anak tangga. Cukup membuat Mbak Ute terkejut, ia bahkan terdiam beberapa saat, "Mas?" Panggilnya memastikan.
Nakula di tengah-tengah anak tangga berhenti berjalan, menoleh ke bawah di mana ada Mbak Ute di sana. "Iya, Mbak?" Balas Naka.
"Ya Tuhan, Mas. Ke mana saja, Mbak selalu hubungin tapi nggak ada jawaban, Mbak juga berkali-kali datangi tower, tapi berkali-kali diusir juga."
Naka meringis, "Maaf. Mbak bilang ke Mami?"
Mbak Ute menggeleng, "Nggak, Mbak pikir, Mas Naka sedang butuh sendiri, jadi Mbak nggak ikut campur. Yang penting, Mas baik-baik saja."
"Iya, makasih banyak, Mbak. Aku ke kamar dulu."
"Siap, Mas istirahat dulu, nanti Mbak antar buah ke kamar."
Naka hanya mengangguk saja, kemudian kembali melangkah. Rasanya hari ini lelah sekali, padahal ia hanya sekolah seperti biasa. Atau mungkin karena hari ini ada fisika, dan harus berurusan dengan Sadewa. Gurunya yang satu itu memang menyebalkan, ia tak salah pun masih terus membahas kesalahan kemarin. Padahal, hari ini tidak ada yang melanggar aturan, Yudhis menjadi anak baik, Juna yang diam karena Bapaknya kembali pergi entah ke mana, dan Sena yang terlihat murung seharian. Sudah Naka coba tanya, tapi Sena menjawab tidak apa. Tandanya, temannya yang satu itu tak ingin bercerita, Naka tidak memaksa.
Begitu tiba di kamar, Naka langsung merebahkan dirinya di atas ranjang, menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. "Gue nggak ngapa-ngapain, tapi capek anjing."
Tak sampai tiga menit, matanya tertutup rapat, napasnya teratur, ia tertidur. Bahkan saat beberapa saat kemudian, Mbak Ute datang membawa buah-buahan, Naka tidak bangun, padahal biasanya, Naka adalah orang yang mudah sekali terbangun karena hal-hal kecil. Mbak Ute mendekat, meletakkan nampan berisi segelas sirup dan semangkuk potongan buah itu di atas nakas. Kemudian memperhatikan Naka, "Mas kalo ke sini cuma pas capek aja, kan? Tapi tetap diam." Mbak Ute lalu melepaskan sepatu Naka.
"Mbak paling nggak bisa lihat Mas begini." Setelah memastikan Naka tidur dengan nyaman, Mbak Ute melangkah keluar, membiarkan Naka beristirahat sebentar.
Akan tetapi, nyatanya, Naka tidak istirahat sebentar. Hingga pukul sepuluh malam, pemuda itu baru kembali membuka matanya, rasanya aneh, sebab tadi masih siang bolong saat dirinya datang. Naka lihat si atas nakas ada makanan dan minuman, juga buah-buahan, mungkin Mbak Ute antar untuk makan malamnya. Ia juga baru sadar di dahinya tertempel plaster penurun demam, "Shit." Umpatnya, seraya melepaskan benda tersebut.