14. Siapa Sangka

597 89 15
                                    

"Selama saya masih bisa berdiri, selama itu pula saya menjamin tidak ada orang lain yang berani membuatmu sedih, bahkan Ibumu sekalipun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Selama saya masih bisa berdiri, selama itu pula saya menjamin tidak ada orang lain yang berani membuatmu sedih, bahkan Ibumu sekalipun."

Tak banyak bicara, gurunya itu hanya berdiri di sampingnya beberapa saat, menatap peti mati Kaisar dalam diam, dan memegang bahu Nakula. Sampai beberapa menit kemudian, kalimat tersebut keluar dari bibir Sadewa, membuat fokus Naka buyar seketika, bahkan hingga detik ini saat dirinya berjongkok di depan makam ayahnya.

Terhitung sudah nyaris dua puluh empat jam sejak Sadewa mengatakan itu, dan setelah itu pun Sadewa tidak lagi bersuara, hanya mengusap rambutnya, kemudian pamit pulang. Usapan tangan Sadewa, rasanya sama seperti usapan tangan yang biasa ayahnya berikan padanya. Ingin sekali Naka protes, mengapa ada yang menyamai ayahnya?! Sialnya, alih-alih protes, Naka justru menginginkannya.

"Sudah mulai sepi, Sayang."

Suara Thalia membuat Naka mengangkat kepala, di hadapannya, Thalia mengulurkan tangannya. Naka tersenyum kecil, kemudian menerima uluran tangan Thalia seraya beranjak, "Kami pamit, Pi. Hanya ini yang mampu kami berikan untuk Papi, semoga Papi bahagia di sana, jangan cemaskan kami, tangan Mami nggak akan pernah lepas dariku."

Lantas dengan begitu, pemakaman tersebut sudah tak lagi menyisakan manusia. Thalia dan Naka menjadi orang terakhir yang meninggalkan pemakaman. Sejak tiba di Jakarta dan melihat Naka, air mata Thalia yang sebelumnya banyak menetes itu seketika sirna, ia memang kehilangan suaminya, tapi Nakula kehilangan ayahnya. Dan Nakula tidak pernah terlihat menangis, membuat Thalia malu untuk menunjukkan kesedihan pada putranya. Sehingga sejak melihat Naka, Thalia mempunyai banyak sekali alasan untuk tetap tersenyum.

"Mami baru tahu kamu punya pin itu."

Naka menunduk, memperhatikan pin yang tertempel di dada kirinya, "Hadiah dari Papi, awalnya Papi minta ini dipake pas aku lulus, tapi ternyata aku pakenya pas kelulusan Papi."

"Oalah, kehebohan Bapakmu bikin desain pin itu ternyata buat ini? Pantes niat banget sampe gambar desain sendiri."

"Nggak kaget lagi." Naka menunduk.

"Kamu tahu, Nakula. Dulu, Mami pernah sedih, sangat sedih sampai nggak tahu apa masih ada lagi kesedihan di dunia ini yang melebihi kesedihan Mami waktu itu. Sampai kamu datang, membuat Mami nggak tahu apakah masih ada kebahagiaan di dunia ini yang melebihi kebahagiaan Mami waktu itu. Rasanya menenangkan saat jemari kecilmu menggenggam jari Mami. Sejak kamu hadir dalam hidup kami, Mami merasa, Mami harus sangat bahagia karena memiliki kamu. Jadi, Papi boleh meninggalkan Mami, tapi kamu jangan, ya?"

Naka menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Thalia, di dalam sebuah mobil Audi hitam yang dikemudikan oleh Mbak Ute tersebut, Naka memeluk Sang Ibu sangat erat, Naka tak membalas perkataan Thalia, namun dengan tindakan demikian, cukup untuk membuat Thalia sedikit tenang. Naka tidak melepaskan pelukan itu, bahkan sampai tertidur di dekapan Thalia. Cukup menjadi jawaban untuk Thalia.

Mr. Physics & SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang