Sepulang sekolah Fia duduk dengan santai di meja belajar, ada beberapa tugas yang harus dia selesaikan. Dia terlalu fokus dengan tugasnya hingga tak menyadari kehadiran seseorang di dalam kamar.
“Enggak capek ngerjain tugas terus?” tanya orang tadi dengan raut wajah malas.
“Enggak” balas Fia tanpa menatap ke sumber suara, karena dia sudah tahu siapa orang itu.
“Kamu memang tak capek, tapi kakak kasihan dengan tugasmu yang selalu kamu lihat dengan mata tajam mu itu” ucapnya dengan santai dan berjalan ke arah kasur Fia dengan tenang.
“Mau apa sih kak? Jangan ganggu, sana pergi” ucap Fia sedikit kesal dan menatap tajam ke arah kakak laki-lakinya berada.
“Kok bisa kamu pacaran sama Frash? Dia gak tertekan sama kamu?” ucapnya lagi dan berhasil memancing emosi Fia. Dengan kesal Fia melemparkan bulpoin ke arah Kenandra dan tepat mengenai dahi kakaknya.
Tuk!
“Sakit dek!” ucap Kenan dengan tangan sibuk mengelus dahinya pelan.
“Makanya jangan mancing emosi” ucap Fia dengan malas.
“Dih! Sensi!” ucap Kenandra dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang Fia. Menatap langit-langit kamar adiknya dengan pikiran bercabang.
“Kenapa?” tanya Fia dengan heran.
“Pacarmu itu ada masalah apa?” tanya Kenan dengan raut wajah heran.
“Memangnya kenapa?” tanya Fia dengan raut wajah tak kalah heran.
“Kemarin kakak lihat dia debat dengan seseorang di pinggir jalan” balas Kenan dan menatap ke arah adiknya dengan lamat.
“Siapa?” batin Fia denga raut wajah heran.
Di lain sisi.
Frash mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Sebenarnya dia sangat malas pulang ke rumah itu, rumah yang penuh akan aura gelap.
Tak lama, akhirnya dia sampai di depan rumah milik keluarganya? Entahlah, apakah mereka pantas di sebut keluarga. Dengan langkah pelan dia berjalan memasuki rumah.
Baru akan membuka pintu, suara bantingan barang sudah menyambut gendang telingannya dan tak lama suara teriakan pun menyusul.
“Pantas dia memilih pergi” gumam Frash dengan raut wajah malas.
Perlahan dia membuka pintu, baru saja terbuka, sebuah vas bunga melayang ke arahnya dan mengenai kepalanya dengan cukup keras.
Frash memejamkan mata untuk beberapa saat, untuk mengontrol gejolak amarah di dalam hati.
“Lihat anak bodohmu itu! Anak tidak berguna! Lemah!” bentak seorang lelaki paruh baya dengan nada suara tinggi.
“Cukup mas! Kamu itu hanya bisa meminta uang kepadaku atau tidak Frash! Kamu itu kepala keluarga, seharusnya kamu yang mencari nafkah bukan aku atau Frash!” teriak seorang wanita cukup umur, dengan sorot mata penuh kekecewaan bercampur dengan amarah.
“Berani kamu sekarang?! Berani kamu angkat suara di depanku wanita bodoh?!” bentak sang suami dengan amarah yang meluap-luap. Dia berjalan ke arah istrinya dan berniat bermain tangan, tapi di hentikan oleh suara seseorang.
“Hei pak tua! Apa kau tak mempunyai kesibukan selain marah-marah dan berminum? Carilah kerja dan beli minumanmu dengan uangmu sendiri, setidaknya kau tahu rasanya mencari uang, bukan hanya menodong seperti preman pasar” ucap Frash dengan datar.
“Bocah ingusan! Berani sekali kau memerintahku!” ucap Ayah Frash dengan marah.
“Pergilah dari sini, anakmu ini mempunyai banyak tugas sekolah yang harus di selesaikan. Suaramu sangat menganggu gendang telinga dan fokusku” ucap Frash dengan tenang.
“Anak sialan!” murka Ayah Frash dan berjalan ke arah anaknya. Tanpa mengatakan apa pun dia melayangkan pukulan ke arah Frash.
Beberapa pukulan Frash terima dan dia hanya bisa diam. Tak lama pergerakan Ayahnya berhenti, dengan tajam dia menatap ke arah Frash yang terbaring di atas lantai.
“Kali ini ku berbaik hati, lain kali tidak!” ucap Ayah Frash dengan sorot mata tajam.
Setelah mengatakan itu, dia berjalan keluar rumah meninggalkan keluarganya dengan langkah tenang.
Sepeninggalan Ayahnya, Frash mulai bangkit dari lantai dengan tenaganya sendiri.
“Kamu tak apa-apa nak?” tanya Ibunya dan berjalan mendekat ke arah Frash.
“Hm” balas Frash dengan tenang.
“Frash ke kamar dulu” lanjutnya dan mulai berjalan ke arah kamarnya berada.
Ibunya masih berdiam diri di tempat, hingga tanpa sadar cairan bening melewati kelopak matanya.
“Maafkan Ibu, Frash” gumamnya dengan sedih.
Sesampainya di kamar, dengan kasar dia merebahkan tubuh di atas ranjang.
“Hah!” helaan nafas panjang dari Frash. Matanya menatap ke arah langit-langit kamar dengan datar.
Kehidupannya kali ini memang cukup sulit. Dia menempati raga remaja laki-laki yang keluarganya sangat kacau. Ayah yang pemabuk dan pemarah, sedangkan sang Ibu? Membelanya dengan perkataan tanpa bertindak apa pun. Dia sungguh kesal dengan keluarga ini, rasanya ingin membunuh Ayah tubuh yang saat ini dia tempati. Tapi dia belum ada pendukung untuk saat ini.
“Rindu ayang” gumam Frash, dengan gerakan cepat dia bangkit dan menghubungi Fia.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA NOVEL 2 (END)
Teen FictionTakdir, sesuatu hal yang tak bisa kita prediksi. Sesuatu yang tak mungkin, bisa saja menjadi mungkin. Seperti kisah cinta dua orang remaja yang tak bisa di prediksi, kisah mereka di luar nalar. Kisah cinta mereka seperti di dukung oleh takdir dan al...