18. Kebencian

270 6 0
                                    

Di sebuah meja makan sederhana, seorang ibu memberikan beberapa pertanyaan kepada anak perempuannya, tetapi selalu diabaikan. Anak itu makan dengan diam. Sesekali hanya menjawab dengan anggukan ataupun gelengan.

Sang ibu mendesah berat. "Kamu sampai kapan menghukum mama seperti ini?"

Si anak terus aja diam. Ia tidak lagi nyaman dengan pertanyaan ibunya. Setelah beberapa detik, ia lebih memilih mengakhiri acara makannya tanpa menghabiskannya. Perempuan itu meminum air di gelas beberapa teguk, kemudian mengangkat piringnya untuk dibawa ke dapur.

"Nez, aku tahu mama salah," ucapnya. Melihat anaknya yang terdiam mematung,sang ibu berucap kembali. "Tolong, maafin mama. Mama nggak tau akan jadi begini."

"Mama dulu juga mengatakan hal sama di depan papa, tapi saat papa memutuskan bunuh diri karena ketidaksanggupannya menghukum istrinya, justru mama menambah pengkhianatan itu dengan menikahi lelaki biadab selingkuhan mama," ujar Inez datar, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Seketika sang mama menangkup kedua telinga anak kecil di sampingnya. "Jangan bicara hal buruk di depan Reyhan, Nez."

Inez melirik adik tirinya yang baru berusia empat tahun. Hatinya terasa dicubit. "Oh, jadi mama tau soal buruk dan baik?" Ia mencibir. "Aku kira mama nggak tau."

"Maksudmu apa, Nez?"

"Seumpama mama tau baik dan buruknya perbuatan, mama nggak akan selingkuh di belakang papa. Mama nggak akan mengkhianati cinta papa."

Sang mama memberikan tatapan memohon, membuat wajah Inez berubah kaku seraya menggertakkan giginya rapat-rapat. Dadanya tiba-tiba panas, ia benci saat dihadapkan pada sesuatu yang menjadi penyebab papanya meninggalkan dia. Inez benci saat di mana dia harus terus mengingat pengkhianatan yang dilakukan mamanya. Dan ia sangat benci atas konsekuensi yang ia dapatkan ketika memutuskan untuk ikut tinggal bersama mamanya beberapa tahun lalu.

Banyak kata yang ingin ia utarakan pada sang mama, banyak ungkapan sakit hati yang ingin ia suarakan, dan begitu banyak beban mental yang ingin ia ucapkan kepada beliau, namun, selalu aja ia merasa sang mama tidak pernah bisa mengerti perasaannya. Sang mama hanya sibuk dengan kata permintaan maaf tanpa mau memahami kesakitannya. Beliau hanya ingin semua kembali seperti semula tanpa memikirkan bagaimana sulitnya menyembuhkan sebuah luka.

Akhirnya Inez tidak berkata apa-apa lagi. Ia melangkah pergi dengan membawa kebencian yang tak pernah hilang dari hatinya.

Di dapur, Inez mencuci semua piring dan perkakas rumah tangga yang belum sempat ia cuci setelah memasak tadi pagi. Ketika tangannya menggosok panci dengan wol baja, benaknya tiba-tiba tertuju pada acara reuni dua hari yang lalu.

Ia ingat pertama kali melihat undangan itu dari website sekolah yang menyatakan reuni akan diadakan untuk dua angkatan aja. Angkatannya dan satu angkatan lagi untuk kakak kelasnya yang berada di satu tingkat di atasnya.

Ia datang waktu itu awalnya hanya untuk mencari informasi tentang pekerjaan. Ia pikir dari sekian banyak temannya barangkali ada satu atau dua yang akan membantunya untuk memperoleh pekerjaan.

Tapi ia salah, kedatangannya sama aja mempermalukan dirinya sendiri.

Hampir semua orang di ruangan itu terpusat padanya. Menunjukkan berbagai macam ekspresi, dari rasa kasihan, mencemooh, tatapan sinis, sampai pandangan merendahkan.

Ia tidak tahu ternyata berita sang papa yang bunuh diri enam tahun silam masih menjadi buah bibir hingga sekarang. Mereka diam-diam membicarakannya. Meskipun berbisik, ada juga yang lantang masuk ke pendengaran Inez. Pembicaraan itu tidak berhenti dalam satu titik. Mereka bahkan mengetahui masa lalu kelamnya. Tentang asmaranya yang selalu gagal setiap akan melaju ke jenjang pernikahan.

Cewek Agresif VS Cowok PolosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang