49. Kapan Kamu Nikah?

157 2 0
                                    

Di sebuah rumah kecil yang sederhana terdapat seorang ibu tengah menyuapi anak lelakinya yang masih berusia 4 tahun, sementara anak perempuannya yang udah dewasa sedang menyetrika baju mereka semua.

Anak kecil tersebut duduk di sofa sambil menikmati makanan itu dengan lahap di depan televisi. Ia memainkan mainan robot yang ada di genggaman. Ibunya yang ada di sampingnya sesekali mengelus puncak kepala anak itu dengan sayang.

Beliau melihat tontonan kartun anaknya sekilas, lalu tatapannya jatuh kepada perempuan yang tengah sibuk menyetrika di atas meja yang menghadap ke arahnya.

Sang ibu menarik napas panjang. "Coba kalau kamu punya suami, Nez, hidup kita nggak akan susah seperti ini. Kamu nggak perlu kerja banting tulang dan semua kebutuhanmu bakal dipenuhi semua oleh suamimu. Kamu juga nggak repot-repot nyetrika, mencuci, memasak, bersih-bersih rumah, semua bisa dikerjakan pembantu seperti hidup kita dulu."

Gerakan tangan Inez terhenti, bulu matanya terangkat dan netra itu kini menatap mamanya dengan wajah dingin, hanya sebentar, kemudian ia meneruskan kegiatannya.

Ia tak menyangka kerja keras yang telah ia lakukan di hadapan mamanya tidak terlihat sama sekali. Tak ada arti baginya. Beliau selalu merasa kurang dan kurang.

"Emangnya suami mama yang sekarang bisa memenuhi kebutuhan mama? Apa dia bisa membayar gaji seorang pembantu?" sindirnya. Tangannya masih melipat baju dengan tenang.

Tubuh sang ibu kaku. Ia mengambil sesendok nasi serta lauk, lantas kembali menyuapi anaknya sembari melirik Inez. "Itu jelas beda, Nez. Jangan mengalihkan pembicaraan. Mama bicara soal kamu."

Perempuan cantik itu hanya tersenyum dan mendengkus dalam hati.

"Kamu itu cantik, Nez. Kamu bisa memilih pria mana saja. Kamu tinggal tunjuk dan mama yakin mereka pasti akan mengejarmu dan menjadikanmu istri," lanjutnya sembari memegang piring di atas pangkuannya.

Inez tetap diam mencoba tak menghiraukan perkataan mamanya.

"Kapan kamu nikah, Nez?" tanya beliau setelah hening beberapa saat.

Inez menghela napas lelah. "Kenapa? Apa mama mau menjualku lagi demi keuntungan mama sendiri?"

"Nez, siapa yang menjualmu? Mama hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik dan nantinya bisa membuatmu bahagia."

Ia mencibir. "Di mata mama yang membuat bahagia hanya orang berduit."

Ia selalu ingat mamanya begitu bersemangat tiap ia berhubungan dengan cowok kaya raya. Beliau akan terus mempromosikan anaknya sendiri dan sangat antusias untuk menjodohkan mereka agar lekas menikah. Seolah beliau tidak ingin melepas harta karun yang tak ternilai harganya.

Terakhir kali ia memergoki mamanya tengah menawarkan anaknya sendiri kepada orang berdasi yang beliau temui pertama kali di depan sebuah hotel.

"Apa mama salah? Jika suamimu kaya, kamu nggak akan kekurangan apa pun."

"Oh, ya? Papa juga udah memberikan semua yang mama butuhkan, mama nggak kekurangan apa pun. Bahkan cinta papa hanya untuk mama, tapi apa? Nyatanya mama tetap mengkhianati papa. Mama nggak pernah puas dengan apa yang papa kasih."

Mamanya membeku.

"Coba liat, pilihan mama yang sekarang punya apa? Dia hanya bisa menguras harta peninggalan papa dan memperburuk keadaan," imbuh Inez dengan penekanan di akhir kalimat.

Matanya memerah. Setiap ia mengingat laki-laki itu, emosinya mencuat ke permukaan. Keluarganya berantakan karena dia, bahkan masa depannya pun hancur karena bajingan itu.

"Ma, haak, mulut Reyhan udah kosong, Ma."

Mendengar rengekan adiknya, Inez segera membuang muka dan melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan ibunya segera menoleh kepada Reyhan dengan memberikan senyuman lembut. Beliau memberikan suapan terakhir dari piring yang kini telah kosong.

Mamanya kembali menatap Inez dengan pandangan bersalah.

"Nez, mama mohon jangan mengungkit masa lalu kami," ujarnya. "Kamu anak baik dan juga cantik. Masa depanmu masih panjang, kamu juga harusnya lupakan masa lalu burukmu. Jangan menoleh ke belakang, jangan terus menyiksa diri—"

"Mama pikir segampang itu melupakan semuanya?" sela Inez langsung. Ia menekan alat pemanas tersebut sambil menggosok baju ibunya. Amarahnya seakan mengalir pada tekanan kuat tangannya di pegangan setrika.

"Aku nggak seperti mama yang bisa melupakan masa lalu dengan mudah." Ia mengangkat setrika dan membuat alat itu berdiri, menjeda pekerjaannya, lalu menatap mamanya. "Apa mama udah melupakan papa? Sesakitnya hati papa saat mama berselingkuh di belakangnya, papa tetap tidak tega menghukum mama. Ia lebih memilih bunuh diri, mengorbankan diri sendiri dan menghukum dirinya sendiri." Inez menggertakkan giginya. Hatinya masih sakit atas kepergian sang papa. "Apa mama sejahat itu sama papa? Mana hati nurani mama? Begitu melihat papa meninggal, mama langsung membawa lari semua harta kekayaan papa dengan pria brengsek pilihan mama!"

Seketika kedua tangan ibunya menangkup telinga Reyhan. Tatapan Inez menajam, lagi-lagi ibunya melindungi anak kecil itu. Beliau selalu memberikan perhatian lebih dan menjaganya sebaik mungkin bahkan dari ucapan yang tidak patut didengar.

"Adek, tolong mainnya pindah ke kamar mama, ya, sayang. Mama mau ngobrol penting sama kakak kamu."

Anak kecil itu mengangguk patuh, lalu membawa mainan robotnya ke dalam kamar.

"Sudah mama katakan berkali-kali, jangan bicara hal yang buruk di depan adek kamu, Nez. Tolong ngerti, adek kamu masih terlalu kecil dan belum tau apa-apa," ucap mamanya sambil menatap Inez yang diam di depannya.

Beliau tidak tahu bagaimana perasaan anak perempuannya sekarang. Rasa sakit dan marah bercampur menjadi satu.

"Masih kurang apa cinta papa ke mama? Apa selama ini mama tidak pernah mencintai papa dan hanya memanfaatkan papa?" Ia masih ingin melanjutkan, tanpa menjawab ucapan mamanya. Ia masih mau meluapkan perasaan dan emosinya. "Oh, atau jangan-jangan mama diam-diam masih menunggu suami baru mama yang bajingan itu?"

Mata mamanya terbelalak. Ia menggelengkan kepalanya.

"Kenapa? Nggak bisa jawab? Apa mama belum puas udah menghabiskan seluruh hasil kerja keras papa selama ini dengan suami penjudi mama itu, hah?"

"Nez! Kamu kenapa selalu nyakitin mama terus?" seru mamanya.

"Mama yang selalu nyakitin aku dan hati papa!" Netra perempuan cantik itu berkaca-kaca. "Mama nggak pernah mikirin kami. Yang ada dipikiran mama cuma kesenangan dan uang. Mama hidup cuma untuk mama sendiri, nggak pernah mikirin keluarga." Dadanya naik turun dan emosinya bergejolak. "Waktu ada papa dulu, hobi mama cuma shopping dan arisan dengan sosialita mama. Sekarang mama nggak punya apa-apa, di mana mereka? Oh, kalo tebakan Inez benar, mamalah yang lari dan bersembunyi dari mereka karena malu kan?"

"Oke, hujat terus mama, hujat! Biar kamu puas!"

.....................***.....................

Cewek Agresif VS Cowok PolosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang