36. Informasi yang Diharapkan

207 4 0
                                    

Usai mengantar adiknya ke sekolah, lalu pergi ke kantor yang hanya setengah jam stay di sana untuk menandatangani berkas dan laporan anak buahnya, Rian buru-buru turun ke beberapa tempat proyek pembangunan untuk memantau keadaan.

Bukan berarti ia tidak percaya kepada anak buahnya, hanya saja dengan adanya proyek sepenting ini ia tidak mau cuma mengandalkan laporan semata, tetapi ia akan lebih yakin jika secara langsung turun dan melihat perkembangan pekerjaan mereka dengan kepala sendiri.

Ia sengaja mengecek proses pembangunan yang lagi berjalan di atas 50%. Dari sekian banyaknya proyek, ia jelas harus mengambil dua tim yang nilai perkembangannya di atas semuanya.

Beruntung salah satunya ada yang jalannya searah dengan rumah cewek yang kini menjadi tujuan utamanya. Dan setelah beberapa tempat ia cek, akhirnya Rian sampailah di tempat yang ia tuju karena rencana dari tempat ini ia akan mampir ke rumah Inez. Cewek yang selama tujuh tahun masih mendekam di relung hatinya.

"Gimana progresnya? Lancar?" tanya Rian kepada Arif—penanggung jawab salah satu proyek di timnya.

"Ada sedikit kendala, tapi udah teratasi, Yan," jawabnya.

"Tentang?"

"Tadi ada dua karyawan di bagian lapangan yang sakit, udah gue bawa ke rumah sakit dan mengambil dana cadangan. Sebagai ganti, mereka meminta keluarganya yang memiliki pengalaman yang sama untuk menggantikan pekerjaannya sementara."

"Oke, baguslah. Usahakan untuk dana yang udah di tetapkan harus tetap sesuai dengan anggaran proyek, bahkan dalam menghadapi kemungkinan tak terduga."

"Siap, Yan," kata Arif.

Selanjutnya, Rian mulai berkeliling ditemani Arif memantau pekerjaan proyek tersebut. Dari beberapa proyek yang telah ia pantau, rasanya tim ini salah satu yang akan diambil untuk menangani proyek berikutnya, karena selain perkembangan yang ditangani udah mencapai 67%, Arif juga orangnya profesional dan bertangggung jawab dalam menangani segala proyek yang ia berikan. Anak buahnya itu bahkan bisa memberikan solusi tercepat dan tepat dalam menghadapi masalah mendadak di lapangan.

Tentunya itu membuatnya senang, karena dengan begitu akan ada alasan tiap ia mampir ke rumah Inez nanti.

Di tengah rasa puas dan bersemangatnya Rian saat ini, tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Ia segera mengangkat dan menjawab teleponnya. Ia agak menjauh dari Arif, bukan apa-apa, cuma si penelepon yang ini emang rada sengklek kalau bercanda, apalagi jika udah berbau-bau mengejek.

"Ada apaan lo telepon di jam kerja gini?" jawab Rian sambil salah satu tangannya berkacak pinggang. Yang di seberang sana ngakak tiada henti, membuat Rian dongkol mendadak. "Gue sibuk nih, kalo nggak ada yang penting gue tutup."

"Woy, perjaka patah hati! Sabar, bro, sabaaar," balasnya, ketawanya makin kenceng. "Lagian sekarang udah sore, di mana-mana bentar lagi perkantoran udah mau tutup, udah mau pada pulang kerja. Ngerti nggak lo?!"

"Banyakan ngomong deh lo, Ben! Udah, mending lo langsung ke inti daripada gue matiin ini." Kali ini jawaban Rian udah ketus beneran, apalagi setelah dibilang perjaka patah hati, udah kayak pengin langsung nyakar wajah sahabatnya satu itu.

Perjaka patah hati? No! Nggak, ya!! Rian belum proses pendekatan, belum ngeluarin jurus mautnya, ia bahkan belum jalanin trik yang udah disusunnya barusan.

Beni tertawa membahana, sampai-sampai kursi kebesarannya terjungkal ke belakang.

"Aduh! Shit!!" Ia mengusap-usap kepala serta bokongnya sambil ngedumel nggak karuan.

Rian mendengar itu, ada sesuatu yang jatuh. Gesekan antara benda dengan lantai dan bunyi "gedabuk" yang sangat keras.

Seketika Rian tertawa terbahak-bahak. Ia udah menduga Beni pasti jatuh dengan tidak elit, apalagi ketika telinganya mendengar tuh cowok marah-marah sembari mengeluarkan sumpah serapah.

"Rasain! Kualat kan lo!" pekik Rian ketawa heboh. Ia langsung memberi isyarat agar Arif meninggalkannya sendirian dengan gerakan tangannya. "Itu lantainya nggak apa-apa, Ben? Nggak retak kan?" tanyanya dengan nada gurauan.

"Sialan lo!" umpat Beni mendengar Rian lebih khawatir lantainya daripada dirinya. "Udah tau temen jatuh, malah diketawain."

Rian akhirnya mengerem suara tawanya. Ia terkekeh pelan. "Ya, udah, sorry," ucapnya, lalu melihat jam tangannya. "Gue ada di tempat proyek nih. Lo mau datang ke sini?"

"Enak aja, lo yang harus ke sini. Ke tempat gue," tolak Beni. "Ini kan bukan urusan gue, ini semua tentang lo. Semua ada sangkut pautnya sama lo. Kalo bukan karena lo, gue nggak bakal lakuin ini semua, Yan."

Menyimak cerocosan Beni, Rian jadi ikutan penasaran. Ia menggaruk kepalanya. "Nggak bisa, Ben. Habis ini gue ada urusan. Emang ada apaan, sih? Kalo penting lo ngomong sekarang juga," tukasnya.

Terdengar cowok di seberang sana menghela napas pasrah. "Lo masih inget Inez? Adek kelas kita waktu SMA."

"Inget," jawabnya pelan, meski ada detakan menggila di jantungnya sesudah mendengar nama itu disebut.  "Emang kenapa?"

Rian bertambah penasaran.

"Gue tau tuh cewek sekarang kerja di mana."

"Serius lo?" kejar Rian saat itu juga.

"Ya, seriuslah. Mana tega info sepenting ini gue bohong sama lo."

"Dia kerja di mana, Ben?"

"Eitts, nggak semudah itu," kata Beni disambung gelakan tawanya, membuat Rian geregetan setengah mati.

"Ben, lo mau main-main sama gue?" Suara Rian udah mulai meninggi.

"Sabar, sabar, Yan," ucap Beni. "Asli nggak sabaran banget sih lo jadi cowok."

"Sialan! Masalahnya lo juga dari tadi mau ngomong aja muter-muter kayak orang kesasar, Ben!" Rian emosi juga jadinya.

Sesungguhnya, Rian yang biasa orangnya nggak seemosian itu. Ia lebih santai menanggapi kejailan semua teman-temannya. Tak jarang ia juga ikut andil dalam mengerjai orang, termasuk adiknya sendiri, juga menggoda teman ceweknya yang berujung pada gelak tawa semuanya akibat ulah Rian. Pada dasarnya tuh cowok emang suka bercanda.

Akan tetapi, jika sudah berkaitan dengan Inez, entah mengapa ia menjadi seemosional itu. Ia akan lebih sensitif dan peka. Mungkin disebabkan sesuatu hal yang ada di dalam dirinya, atau sebuah dorongan kuat yang telah terpendam dalam hatinya untuk cewek itu sejak lama.

"Gue bakal tetap kasih tau lo kok. Tapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?" jawab Rian tak sabar.

Beni terkikik geli mengetahui sobatnya makin nggak sabaran dan terlalu sentimen jika mengenai Inez. "Gini aja, kalo lo mau tau semua info tentang Inez, lo harus datang nanti malam ke club langganan kita."

"Brengsek lo, Ben! Kenapa nggak kasih tau sekarang aja, sih?"

"Hahaha ... nggak seru dong."

"Lo—"

"Pokoknya gue tunggu nanti malem seperti biasa. Awas kalo sampai nggak datang!"

..............................***................................

Cewek Agresif VS Cowok PolosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang