11. Jodoh Emang Nggak ke Mana

4.5K 128 39
                                    

"Uh, gagal lagi deh dapet cowok tampan!" gerutu Dara sambil mengentak-entakkan telapak kakinya ke lantai.

Iya, dia emang nggak pakai alas kaki apa pun. Sepatunya yang ia lempar ke sembarang tempat itu juga dibiarkan begitu aja. Nggak tahu ada di mana. Ia tinggal keluar dengan membawa kekesalan sampai ke ubun-ubun.

Cewek itu sekarang ada di luar, di depan pagar tinggi sebagai pintu masuk utama. Bibirnya mengerucut sebal, kedua tangannya terlipat di depan dada. Berdiri seraya menatap jalan raya yang dilalui berbagai macam kendaraan.

"Masih lama nggak sih acaranya?" tanyanya pada diri sendiri. Sesekali ia melihat jam tangan. "Kalo tau gini mending gue tadi nggak ikutan mama ke sini deh."

Ia cemberut. Tangannya mencengkeram asal tanaman pucuk merah di sampingnya, lalu ia cabut beberapa daun dan diremas-remas hingga tak berbentuk.

"Aduh-aduh, panas." Telapak kakinya kepanasan. Otomatis ia berjengket-jengket ke arah pinggir, merapat pada pohon tanjung. "Nah, di sini kayaknya nggak terlalu panas."

Dara duduk bersila dengan beralaskan rumput, masih di bawah pohon tanjung layaknya Mbah Dukun yang lagi sepi pasien.

Ia memutar kepalanya di sela-sela jeruji pagar belakangnya, lantas menghela napas kasar. Mau masuk lagi, tapi males. Apalagi dalam keadaan nggak pakai alas kaki begini. Sama aja mempermalukan diri sendiri.

Cewek ngenes itu berganti menghela napas berat. Nggak ada salahnya jika ia mencoba bersabar dan menerima nasib sialnya hari ini.

Di dalam diamnya Dara, ia terus aja menatap ke depan. Kedua tangan menopang dagu, sibuk melamun sendiri.

Dari kejauhan seorang nenek-nenek yang membawa mangkok plastik kosong berjalan tertatih-tatih. Ia melihat Dara dan mencoba mendekatinya.

"Mbak, ini mbak," kata nenek itu sembari menyodok-nyodok kecil mangkok tersebut di bahu Dara.

"Apaan, sih!" jawab Dara sewot, tanpa menoleh.

"Mbak, seikhlasnya mbak."

"Apanya yang seikhlasnya?" Tuh anak tetap nggak mau berpaling.

"Uangnya, Mbak."

"Emang, kenapa dengan uangnya?" tanya Dara balik. Suaranya kian bertambah lirih.

Kini ia bertopang dagu dengan sebelah tangan. Menatap lurus-lurus jalan di depannya.

Tidak ada jawaban.

Panas makin meninggi, sinarnya ternyata bisa menembus celah-celah di dedaunan. Dara menarik napas dalam-dalam. Masih enggan untuk menoleh.

"Saya ... belum makan seharian."

Seketika Dara mendongak, mendapati seorang nenek yang udah renta berdiri di sebelahnya dengan pandangan sayu dan tubuh gemetar.

"Nenek nggak kenapa-kenapa?"

Nenek itu menggeleng pelan. Senyum tipisnya terukir.

"Aduh, Nek. Sini-sini, duduk dulu, Nek." Dara berdiri dan segera menuntun sang nenek untuk duduk di tempat yang nggak terlalu terpapar oleh sinar matahari.

"Nenek mau ke mana? Kok sendirian? Nenek butuh apa? Makan, selimut, baju, atau apa, Nek?" tanya Dara beruntun tanpa jeda. Ia panik.

"Saya, butuh uang buat ... beli makan, Nak."

"Oh, iya-ya, kan nenek dari tadi udah bilang kan, ya? Maaf-maaf, Nek. Hehehe...." Ia cengengesan kayak orang bodoh.

Cewek itu meraih dompet di tas kecilnya kemudian mengambil uang seratus ribuan sebanyak tiga lembar. "Segini cukup nggak, Nek?"

Cewek Agresif VS Cowok PolosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang