بسم الله الرحمن الرحيم
"Tidak ada salahnya pergi, selama itu menenangkan hati. Tapi, cobalah untuk kembali, periksa apa yang perlu diperbaiki. Maka, disana kamu akan menemukan bahagia baru lagi."
-Khalifi Alby Fachri-
🕊️
Awal tahun 2023 ...
Iris coklat itu memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Sesekali ia melirik arloji hitam miliknya, kemudian mendesah panjang. Sepuluh menit lagi pesawat yang ditumpanginya akan lepas landas.
Setelah tiba, tangannya segera merogoh android di saku baju, kemudian menekan sebuah nomor. Beberapa detik berlalu, suara seseorang sudah terdengar di ujung telpon.
"Halo, Ma. Alby udah sampai."
"Syukurlah, tadi Mama udah nyuruh kang Rudi jemput ke bandara. Kamu udah ketemu?"
"Belum, Ma. Al belum keluar, masih ambil barang bawaan."
"Ya udah. Mama ada meeting dulu ya. Nanti kalau udah nyampe rumah, telpon lagi."
"Iya Ma. Dah," katanya kemudian menutup telpon.
Setelah memeriksa semua barangnya, Alby segera melangkahkan kaki keluar. Dengan kacamata hitam yang masih bertengger di hidung panjangnya, Alby menyapu sekitar bandara yang tak sedikit orang lalu lalang di depannya.
Helaan napas berat terdengar dari mulutnya, ketika mengingat file masa lalu yang kembali berputar di kepala. Tiga tahun lalu, bandara Soekarno-Hatta ini menjadi saksi kepergiannya atas luka yang mengendap di dasar hati. Dan kini, kembali menjadi penyambut atas kepulangannya.
Sebenarnya, Alby sudah bertekad tidak akan kembali ke tempat ini lagi. Dia tidak ingin mengingat bayangan luka yang baru saja berhasil ia kubur. Tapi bagaimanapun dia harus tetap pulang untuk mengurus rumah sakit yang sudah dirintis kakeknya. Entah mulai saat ini, apa dia bisa hidup di tengah bayangan luka itu atau tidak.
Kedua sudut bibirnya tertarik ketika melihat seorang laki-laki paruh baya yang berdiri di antara kerumunan orang-orang. Kedua tangannya tengah memegang spanduk yang bertuliskan 'KHALIFI ALBY FACHRI' dalam ukuran yang lumayan besar. Setelah memastikan, ia pun tersenyum dan berjalan ke arah laki-laki itu.
"Pak Rudi?" tanya Alby setelah ia berada tepat di depannya.
Laki-laki itu menyipitkan matanya. "Maaf, Adek siapa ya?"
Alby tersenyum. Dia maklum atas pertanyaan laki-laki itu. Selain umurnya yang sudah tidak muda, kepergian dirinya yang lumayan lama pasti membuat sopir keluarga itu lupa-lupa ingat dengannya.
Alby membuka kacamata hitamnya. "Saya Alby, Pak."
"Walah. Maafkan saya Den Alby. Bapak kurang ingat wajah Aden."
"Tidak apa-apa, Pak," jawabnya tersenyum.
"Eh, itu kopernya biar bapak yang bawa Den." Alby menyerahkan koper yang tadi dibawanya. "Monggo Den. Kita pulang."
Setelah memasukkan semua barang Alby, pak Rudi segera mengemudikan mobilnya karena takut nantinya akan macet panjang. Satu jam kemudian, mereka sudah sampai.
"Selamat datang, Den Alby," sambut wanita berkepala lima di depan pintu rumah.
Alby tersenyum melihat sambutan itu. "Terima kasih, Bi Nur."
"Silahkan masuk atuh Aden."
Alby mengangguk dan langsung berjalan ke dalam. Matanya menatap setiap sudut di dalam rumah yang tak kecil itu, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menuju kamarnya di lantai atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Halal [TERBIT]
SpiritualAlby yang suka ketenangan, dan Naura yang selalu membawa keramaian. Bagaimana jika mereka disatukan? Bagi Naura, Alby hanyalah laki-laki dingin, tegaan, dan hanya sering berbicara dengan ikan hiasnya. Sedangkan dimata Alby, Naura hanya wanita yang s...