Part 21: Sungai dan Momennya

730 68 10
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Masa lalu dan semua kenangannya tidak bisa dilupakan. Mereka akan tetap abadi di hati orang yang mengenangnya. Maka, cukup jadikan dia sebagai cerminan untuk masa kita sekarang."

-Naura Himmatul Kaafi-

🕊


Kicauan burung mulai terdengar riuh. Beriringan dengan suara kokok ayam yang juga bersahutan dari rumah-rumah tetangga. Beberapa orang tua dan anak muda pun sudah terlihat meninggalkan rumah mereka demi menjalankan aktivitas sehari-hari.

Meski terhitung belum jam tujuh, tapi suasana di desa itu sudah terbilang ramai. Beberapa orang dengan alat bajaknya sudah siap terjun ke sawah mereka yang seluas mata memandang. Begitu juga dengan ibu-ibu yang baru selesai memetik beragam sayuran untuk dijual, mereka kini sudah mulai mengayuh sepeda dan membawa dagangannya menuju pasar. Di samping itu, pemandangan anak-anak dengan seragam merah putih kian melebarkan senyum keharuan.

Walaupun tidak semewah kehidupan di kota, tapi semangat dan ketekunan mereka sudah cukup menggugah kesadaran bahwa Tuhan tidak pernah salah memberi kebahagiaan. Ya, kebahagiaan orang-orang di desa ini memang tidak terpaku pada materi, tapi kebahagiaan mereka terletak pada hati yang selalu dipenuhi dengan kesyukuran dan keikhlasan. Hal itulah yang membuat kehidupan di desa ini begitu tenang dan mendamaikan.

Alby tak hentinya meliarkan pandangan ke segala arah. Setelah solat Subuh di masjid, ia memilih untuk jalan-jalan sebentar sambil menikmati indahnya fajar di  desa itu. Sepanjang perjalanan dari masjid, ia sesekali disapa ramah oleh beberapa warga yang berpapasan dengannya.

"Lho, Nak Alby baru pulang dari masjid?" tanya Marwa yang baru datang entah darimana. Pertanyaan itu berhasil mengalihkan perhatian Alby yang sejak tadi melihat pemandangan sekitar.

Alby menoleh dan tersenyum. "Iya, Bu. Tadi sempat keliling sebentar," jawabnya. "Ibu dari mana?"

"Oh, ini. Ibu habis beli sayuran di warung Pak Darmo." Marwa memperlihatkan dua keresek yang dibawanya. Pemuda di sampingnya mengangguk dan tiba-tiba mengambil barang yang ia bawa.

"Sini, Bu. Biar saya yang bawakan," kata Alby.

"Terima kasih, Nak," balas Marwa yang berjalan bersama Alby menuju rumahnya.

Selama perjalanan, Alby tak hentinya mendapat salam dari beberapa gadis yang berpapasan dengan mereka. Bukannya tidak suka dengan salam tersebut, Alby hanya merasa risih dengan pujian yang mereka lontarkan. Beruntung, Marwa bisa membuat mereka kicep hanya dengan beberapa kalimat. Terutama ketika bertemu dengan empat anak SMA tadi.

"Bude Awa, itu Mas ganteng namanya siapa? Boleh dikenalin enggak?" tanya seorang gadis berambut pendek.

"Iya, Bu. Sama nomor kontaknya juga enggak apa-apa. Hehe," sahut yang lainnya.

"Aduh, maaf Nduk. Ini teh sudah ada yang punya."

"Lho, punya siapa?"

"Punya anak Bude."

"Walah, itu suaminya Mbak Naura?"

Marwa mengangguk mantap.

"Wah, kayaknya kita harus nyamperin Mbak Naura setelah ini, guys!" bisik yang berjilbab asal-asalan pada teman di sebelahnya.

"Ngapain?"

"Kita tanya Mbak Naura pakai doa apa sampai punya suami se-masya Allah ini?"

"Aduh, kayaknya bakalan susah. Mbak Naura 'kan solehah, jilbabnya panjang-panjang. Cocoklah sama Masnya."

Pembantu Halal [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang