Prolog

385 39 2
                                    

Arin memasuki ruang kesiswaan dengan badan berkeringat aroma matahari. Ruang kesiswaan, ruangan yang sangat tidak ingin dia masuki seantero sekolahnya. Ruangan yang sangat akrab untuk siswa pelanggar aturan, yang kini dia menjadi salah satunya. Tetapi, dia tidak ingin mengakrabkan diri. Sudah cukup sekali ini saja.

Rasa lelahnya makin membuatnya merasa dongkol tatkala melihat cowok paling menyebalkan di kelasnya sedang duduk di salah satu sofa dalam ruangan itu. Jeha sedang memainkan ponselnya dengan duduk di sofa yang biasa digunakan tamu atau tempat kumpul anak MPK seperti cowok itu.

Sekilas cowok itu mengarahkan atensi pada Arin, namun kembali menatap layar ponselnya. Arin juga tak mempedulikan itu. Justru dia bersyukur cowok itu sedang tidak ada niatan untuk mengganggunya. Hanya akan merusak mood-nya yang sudah jelek sedari pagi.

Pertama kalinya melanggar peraturan sekolah hingga harus terkena hukuman selama hampir tiga tahun sekolah, membuatnya tak mengerti harus melakukan apa setelah melaksanakan perintah dari pak Bambang, selaku guru kesiswaan. Yang dilakukannya hanya diam sambil matanya berlari kesana kemari mencari buku kematian, buku sanksi. Seingatnya dia disuruh tandatangan di buku sanksi setelah melaksanakan hukuman.

Masalahnya, dia tidak tahu buku itu yang mana?

Melihat buku panjang bergambarkan batik yang tergeletak di meja dekat sofa, membuatnya tergerak untuk meraih buku itu.

Ini gak sih bukunya?

Buku kematian?

"Cari apa?"

Tanganya yang sudah memegang cover  buku itu ditariknya kembali saat cowok itu bersuara.

"Buku kematian. Eh?" Arin yang salah mengucapkan itu langsung memasang wajah panik pada Jeha.

Seharusnya dia berkata, "Buku sanksi," koreksinya.

Cowok itu tertawa ringan dengan menyunggingkan sebelah bibirnya.

"Nih!"Jeha menunjuk buku panjang dengan cover  batik. "Buku kematian," ucapnya dengan tawa mengejek.

"Tahu kok!" balas Arin yang mulai mengisi presensi selepas Jeha membantu membuka buku kematian itu.

"Yang bener? Kok kayak orang linglung daritadi?"

"Orang nggak tahu tuh nanyaa, bukan malah diem aja,"

Mulai lagi. Cowok itu akan mengganggunya kembali. Seperti tidak ada kesibukan lain saja.

"Mau tahu aja apa mau tahu banget?"

Arin tahu persis cowok itu hanya ingin membuatnya kesal, lantas dia pun tidak berusaha untuk membalas dengan serius. Hanya akan membuang tenaga.

Bukannya kesal, Jeha semakin tertarik untuk menggoda cewek itu. Baginya, reaksi dari Arin yang paling lucu dari lainnya.

"Mau banget dongg!"

Arin menatap cowok itu dengan ekspresi wajah jijik.

"Apaan sih?"

Arin menutup bukunya dan berniat pergi dari ruangan itu meninggalkan Jeha yang ternyata daritadi menunggunya mengisi presensi. Dengan menyender pada meja dekat dia menulis buku kematian dan tangan yang dia lipat di depan dada.

Jika ingin berkata jujur, sebenarnya Jeha cukup tampan juga asal cowok itu tidak mengganggunya. Bukan berarti, dia akan memberi kesempatan cowok itu untuk dapat memasuki pintu hatinya. Terlebih saat tahu cowok itu suka bermain dengan perempuan.

"Rin!" panggil cowok itu dengan suara berat yang agak dikeraskan.

Arin yang sudah terlampau malas hanya membalikkan badan menunggu Jeha untuk melanjutkan perkataanya.

Cowok itu tak langsung mengatakan, melainkan mendekat ke arahnya. Dengan lagak sok keren, cowok itu berdiri tegak di depannya dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

"Gue udah baca,"ucapnya.

Arin mengerutkan dahinya sesaat cowok itu berucap.

"Terus?" tanya Arin dengan malas.

Dia tak ada ketertarikan sedikitpun untuk mengetahui cowok itu sehabis melakukan sesuatu. Dia sungguh tak peduli itu.

Cowok itu tahu Arin akan bereaksi seperti ini. Dengan begitu dia akan semakin bersemangat untuk membuat cewek itu mengakuinya. Adrenalinnya semakin kuat.

"Pinter banget bohongnya,"

"Mau ngomong apa sih? Kalo gak penting aku pergi!"

"Surat cinta,"

"Gue udah baca surat cinta dari lo!"

Hah?

Jangan-jangan?

Nggak mungkin!

"Nggak usah halu deh!"

Setelah mengucapkan itu Arin langsung lari dari cowok itu.

Arin berhenti pada belokan lorong menuju tangga ke lantai dua. Dengan kepanikannya, tanpa pikir panjang dia menelpon Naya.

Dua kali dia ditolak. Dia mengirimkan pesan pada Naya untuk mengangkat telpon dan menelponnya kembali untuk ketiga kalinya.

Kenapa Ar? Aku bentar lagi mau kelasnya pak Bambang

Akhirnya, Naya menjawab panggilannya.

"Naya! Gawat, Nay!"

Hah?

"Nay! Sumpah ini gawat banget!"

Apa sih? Tenang dulu deh!

"Nggak bisaa! Aku nggak bisaa tenang Nayy! Ihh aku harus gimana cobaa?"

Arinn ihh! Kamu tuh jangan panikan dulu bisa gak sih?

"NGGAKK BISAAA!!!"


Gimana nich?

Yay or Nay?

Love Letter Gone WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang