12. Terasa remuk

5.6K 632 40
                                    

Hai hai siapa yang nungguin? 🙌🙌

Duh maaf ya baru bisa update! Belakangan lagi sibuk banget kalo jam2 segini 🙇

Selamat membaca ya, jangan lupa loh vote sama komentarnya❤️



Dunia memang tidak ada yang adil. Dibalik kesempurnaan seseorang sudah pasti ada kekurangan yang tak dia perlihatkan. Seperti hidupku. Bukan hanya tak sempurna, dunia ini begitu sangat tidak adil untukku. Kehilangan semua keluarga dalam waktu bersamaan. Dibenci keluarga besar karena hanya aku satu-satunya yang masih hidup. Sekarang, aku juga harus mendapatkan kabar kalau nenek sakit. Sampai harus melepaskan kehormatanku untuk uang. Untuk kelangsungan hidup yang sangat tak adil ini. Seandainya keluargaku masih hidup, aku tidak perlu melakukan sesuatu yang merugikan juga menyakiti diriku sendiri.

"Kamu mau pulang?"

Aku menoleh ke belakang. Dengan langkah tertatih aku mengangguk. mengambil tas yang berada di atas meja. Setelah melakukan hubungan badan dengan Sadwa dan beristirahat sejenak. Aku memutuskan untuk langsung pulang karena tidak mau nenek cemas.

"Kamu yakin? Baik-baik saja?"

Pertanyaan itu kembali keluar dari mulut Sadwa. terdengar hanya pertanyaan basa-basi saja, bukan rasa cemas karena memikirkan keadaanku. Padahal, tanpa harus bertanya pun dia sudah tahu kalau aku tidak baik-baik saja. Apa lagi ini pengalaman pertamaku. Belum lagi permainan Sadwa tidak selembut yang pernah aku lihat di dalam drama. Dia gila, bahkan tak cukup sekali.

"Aku baik-baik saja," balasku. Tak mau lagi mendengar ucapannya. Rasa sakit di seluruh tubuhku membuat aku hanya ingin segera pulang dan tidur.

"Oke."

Kata singkat yang terakhir aku dengar sebelum benar-benar pergi dari Apartemen milik pria itu. menghela napas berat. Aku menatap bayangan diriku sendiri di dalam lift yang sedang aku naiki. Lelah, hanya satu kata itu yang mengekspresikan semua pikiran dan perasaanku. Bahkan─tubuhku.

"Maafkan aku," gumamku. Tiba-tiba saja rasa bersalah memenuhi hatiku. Tidak tahu untuk siapa kalimat itu diucapkan. Entah untuk orang tuaku yang sudah tiada, nenek, atau─diriku sendiri.

Aku tidak punya cara dan jalan lain sampai memutuskan memilih hal buruk seperti ini. Seandainya bisa, aku tak ingin melakukannya.

"Aku sudah kotor sekarang," ucapku lagi. Untung saja hanya ada aku yang ada di dalam lift. Membuat aku tak bisa menahan air mata yang sedari tadi minta di keluarkan.

Ya, aku menangis lagi. Menangisi sesuatu yang sudah aku lakukan. Sesuatu yang sudah menjadi keputusanku. Betapa murahnya harga diri yang sudah hancur ini. Meski nominal yang aku dapatkan cukup besar. Tetap saja, itu tidak sepadan dengan keromatan wanita yang di jaga.

Pintu lift terbuka di lantai yang aku pilih. Aku keluar sembari menghapus air mata yang sudah membasahi kedua pipi. Mencoba mengabaikan beberapa orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Aku ingin segera pulang. Ingin cepat sampai rumah lalu tidur.

"Ah, maaf."

Aku menunduk meminta maaf saat tak sengaja menabrak seseorang. Terlalu fokus dengan pikiranku sendiri membuat kejadian seperti ini harus terjadi.

"Gak apa-ap─Ersa?"

Dahiku mengerut. Mendongak untuk melihat siapa yang baru saja memanggil namaku. Dahiku mengerut melihat sosok pria yang terlihat tak asing. Aku seperti mengenalnya, tapi tidak tahu siapa.

Satu alisku naik. "Siapa?"

"Astaga, jadi ini benar kamu kan? Kamu gak ingat aku? ini aku, Fabian."

Kerutan di dahiku semakin lebar. "Fabian?"

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang