59. Pergi (End)

4.7K 513 48
                                    

Update guys! Udah berapa abad ya? 🤣 Masih nungguin gak? Maaf ya lama 😩

Di Karyakarsa sudah ada bab baru juga ya! Yang mau baca cepat bisa langsung ke Karyakarsa:*



Aku mengerutkan dahiku ketika mataku terganggu dengan cahaya dan samar-samar isak tangis yang tak jelas terdengar. aku mengenal suara itu, ya, itu suara Rumana. Tapi kenapa dia menangis? Aku mencoba membuka mataku. Pelan-pelan sampai samar-samar aku bisa melihat wajah seseorang yang seakan sedang menunggu kesadaranku.

"Mbak!"

Aku terkejut ketika baru saja mataku menangkap wajah Rumana. Anak itu berteriak lalu dengan cepat memelukku. Erat sekali sampai membuatku mengerang kesakitan.

"Rum, sesak Rum."

Rumana panik. Dengan cepat melepaskan pelukanku. "Ma─maafin aku Mbak. Aku cuma senang Mbak sudah sadar," cicitnya cemas.

Aku terdiam sebentar. Melihat wajah Rumana yang penuh dengan air mata membuatku kembali mengingat ke kejadian yang baru saja terjadi. Kejadian di mana ketika aku siap menjatuhkan diri dan seseorang menarikku. Itu Rumana.

"Mbak," lirih Rumana membuatku langsung menoleh ke arahnya. "Mbak kenapa? Kenapa tadi Mbak berbuat seperti itu? Aku gak pernah lihat Mbak Ersa kayak begitu. Kenapa? Kenapa Mbak nekat berbuat seperti itu? Mbak tahukan kalau ada Rumana di sini? Kenapa Mbak tega ninggalin Rumana sendiri? Mbak pikir Rumana bisa hidup sendirian di dunia ini? apa semua orang gak mau hidup sama Rumana sampai semuanya mau pergi ninggalin aku?" cecarnya sambil terisak-isak.

Aku mematung. kalimat Rumana seakan mengingatkan kepada ucapan yang aku katakan tadi. Mirip dengan yang sedang aku alami sekarang. Kenapa? Kenapa aku berpikir kalau Rumana bisa hidup sendiri? Dia bahkan masih sekolah sekarang. Kalau aku tidak ada, bagaimana hidupnya nanti? Bagaimana sekolahnya? Bagaimana cara dia makan? Bagaimana kalau Rumana mengikuti jejakku dengan menjual diri? Tidak! Itu tak boleh terjadi.

"Mbak, Rumana sudah bilang. Kalau ada masalah tolong cerita sama Rumana. Memang, Rumana masih kecil, gak punya pengalaman kayak orang dewasa. Tapi kalau Mbak mau berbagi beban sama Rumana, aku bakal coba meringankannya Mbak walau mungkin gak cukup membantu. Maaf kalau selama ini Rumana membebani Mbak hidup Mbak Ersa. Pasti berat sekali ya Mbak, maafin Rumana."

Rumana menangis lagi. Aku tak tega melihatnya. Ini bukan salahnya, sama sekali bukan. Ini kebodohanku sendiri.

"Gak Rum, kamu gak pernah membebani Mbak. Justru Mbak senang kamu ada di samping Mbak."

Rumana semakin terisak. "Mbak, jangan pergi. Jangan tinggalin Rumana. Rumana gak bisa hidup sendiri. Tolong jangan buang Rumana kayak Ibu buang aku."

Aku sakit hati. Tak pernah terpikir olehku kalau Rumana akan berpikir seperti itu. Rumana merasa dirinya dibuang seperti yang sudah dilakukan oleh ibunya. Dan aku hampir melakukannya lagi.

Bodohnya aku. Kenapa aku hanya memikirkan diriku sendiri? Kenapa aku berpikir Rumana akan bahagia? Kenapa aku seolah-olah begitu menderita sementara adikku sama menderitanya sepertiku? Dia bahkan tak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Meski aku ditinggalkan, tapi aku pernah mendapatkan kasih sayang itu.

Aku ikut menangis. "Maafin Mbak Ersa, Rum. Maaf, Mbak bodoh sekali sampai mau mengakhiri hidup Mbak. Mbak gak memikirkan kamu yang hidup sendirian. Maafin Mbak."

Rumana menggeleng. "Gak, Mbak gak salah. Rumana tahu hidup itu gak mudah. Apa lagi kita gak punya siapa-siapa. Rumana gak tahu masalah yang sudah Mbak Ersa lalui selama ini. tapi tolong jangan tinggalin aku, Mbak. Aku gak apa-apa hidup susah. Tidur di jalanan pun gak apa-apa asal sama Mbak Ersa."

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang