27. Memberitahu

3.7K 586 30
                                    

Update! Jangan lupa vote dan komentarnya yaaa, selamat membaca:*

Kondisi nenek masih belum membaik. Aku tidak tahu tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena sebelum meninggalkan nenek pergi dan mencari Sadwa semalam, nenek masih baik-baik saja. Aku juga rutin memberikan nenek obat. Lantas kenapa nenek tiba-tiba muntah sampai tak sadarkan diri seperti ini?

Rumana bilang semalam dia baru saja hendak tidur. Tapi tak jadi ketika mendengar nenek muntah-muntah di dalam kamar mandi. Karena tidak ada aku Rumana dengan sigap menghampiri nenek. Rumana mencoba membantu nenek semampunya sampai nenek akhirnya jatuh dan tak sadarkan diri.

Aku belum menanyakan apa yang terjadi semalam kepada Rumana. Selain anak itu masih syok karena kejadian ini, hari ini dia juga harus berangkat sekolah. Jadi aku tak mau membuatnya banyak pikiran. Dia harus fokus dengan sekolahnya lebih dulu.

Setelah membantuku semalam, Sadwa tidak mengabariku lagi. Tak ada telepon atau pesan singkat yang pria itu kirim padaku. Apa dia benar-benar mengizinkan aku mengurus nenek dan mengabaikan pekerjaanku untuk melayaninya? Aku memang berterima kasih untuk semua bantuannya. Tidak tahu apa yang akan terjadi kepada nenek kalau seandainya semalam Sadwa tak ada.

Ditengah kepanikan yang melanda, ada Sadwa yang membantu segalanya. Siapa sangka pria brengsek sepertinya punya sisi hati yang baik? Benar apa kata Bunda, kalau Sadwa tidak seburuk itu. Hanya saja caranya memang kurang mengenakan.

Ketika mataku sibuk memerhatikan nenek. Dering ponsel tiba-tiba saja berbunyi. Aku dengan cepat menerima telepon itu tanpa melihat nama si pemanggil karena takut mengganggu nenek.

"Halo?"

"Halo Ersa. Gimana kondisi nenek kamu? Apa baik-baik saja?"

Dahiku mengerut mendengar suara cemas diseberang telepon. Menarik telepon dari telinga. Aku melihat nama yang sedang menghubungiku sekarang. Kedua mataku langsung membelalak melihat nama 'Bunda' terlihat di layar.

"Ah Bunda. Nenek belum siuman," kataku. "Bunda─tahu dari mana soal Nenek?" tanyaku.

"Sadwa cerita sama Bunda. Tadinya hari ini Bunda mau ngajak kamu keluar, tapi kata Sadwa gak bisa karena kamu harus jagain Nenek kamu."

Aku tersenyum kecut. Tak menyangka pria itu akan bercerita kepada Bunda. "Oh iya Bun. Maaf ya Ersa gak bisa antar Bunda."

"Duh, jangan dipikirkan. Kesetahan Nenek kamu lebih penting. Kamu yang sabar ya Sayang."

"Iya Bun, makasih."

"Ngomong-ngomong kamu sudah makan?"

Satu alisku naik. "Makan? Oh, sudah Bun."

"Tapi ini sebentar lagi siang. Kamu pasti belum makan siangkan? Gak sempat juga karena harus jaga Nenek pasti. Kalau gitu gimana kalau kita makan siang bareng?"

Aku gelagapan mendengar pertanyaan Bunda yang terburu-buru. "Anu Bun, aku─"

"Kamu tenang saja. Nanti biar Bunda yang ke rumah sakit. Makanan di sana juga enak, sekalian Bunda mau jengukin Nenek kamu."

"Ta─tapi Bun, apa gak merepotkan?" tanyaku, tak enak hati.

"Ya ampun, kenapa harus merepotkan? Kamu pacar anak Bunda. Sudah sepantasnya Bunda harus ikut membantu kesulitan calon menantu Bunda," katanya. "Kalau begitu Bunda siap-siap dulu ya. Nanti Bunda kabari kalau sudah sampai."

"Ah, iya Bun."

Panggilan terputus. Melihat layar ponsel yang mati membuatku mendadak ingin berteriak. Aku tidak tahu harus melakukan apa, rasanya tak bisa kalau aku menolak semua kebaikan Bunda. Tapi disisi lain, aku juga merasa bersalah karena aku sedang mmebohonginya. Soal statusku yang sebenarnya bukan kekasih Sadwa.

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang