35. Kamu di mana?

2.5K 426 24
                                    

Update gais! Duh agak malem ya 😂 semoga masih ada yang melek ya:*

Di Karyakarsa sudah update bab baru juga ya, selamat membaca:*


Kejadian nenek yang masuk rumah sakit tanpa sadar membuat hubunganku dengan Sadwa semakin dekat. Yang awalnya hanya menghubungiku di saat pria itu sedang butuh, sekarang dia lebih sering mengirimkan pesan tak penting. Misal menanyakan aku sedang apa? Sesuatu yang aku pikir tak perlu pria itu lakukan.

Meski kadang agak menjengkelkan. Tapi aku juga bersyukur. Seandainya aku tidak mengenal Sadwa, mungkin sekarang aku sedang kesulitan. Mungkin juga─nenek tidak akan selamat.

"Mbak, ini camilan banyak sekali. Dari mana?" tanya Rumana. Setelah bertanya dia kembali menyuapkan keripik kentang ke dalam mulutnya.

"Dari Mas Sadwa."

"Oh, Mas Sadwa datang ke sini?"

"Iya."

Rumana mangut-mangut. "Mbak Ersa sama Mas Sadwa pacaran ya?"

Aku mendelik. "Heh, mulutmu."

"Loh? Kenapa? Aku kan tanya, Mbak."

Aku mendesis. Bagaimana cara aku menjawabnya? Sadwa memang mengenalkanku sebagai kekasihnya. Tapi Rumana, apa dia juga harus tahu kalau aku kekasih Sadwa? Tapi kalau aku tidak melakukan seperti yang pria itu lakukan, dia pasti marah.

"Errr...iya." Akhirnya aku memilih memberikan jawaban itu.

"Wah, Mbak hebat. Rumana gak nyangka kalau Mbak Ersa bisa punya pacar kayak Mas Sadwa," puji Rumana.

Satu alisku naik. "Memang kenapa dia?"

Rumana berdecak. "Masa Mbak gak ngerti. Itu loh, Mas Sadwa selain ganteng, dia juga kaya raya. Baik juga. Ramah, suka menolong. Pokoknya sempurna deh. Mbak beruntung bisa dapat pacar kayak Mas Sadwa."

Aku meringis. Lihatlah bagaimana cara Rumana memuji Sadwa. Rumana tidak tahu saja bagian jahatnya pria itu. Kalau tahu yang sebenarnya, aku yakin Rumana gak mungkin memuji Sadwa seperti itu.

"Jangan dipuji. Kalau dengar dia narsis nanti."

"Kenapa gak boleh? Kan faktanya kayak gitu," sahut Rumana. "Cie, Mbak Ersa pasti bahagia sekarang."

"Hah? Bahagia kenapa sih."

"Karena punya pacar kayak Mas Sadwa."

"Biasa saja ah."

Rumana terkekeh. "Aku bersyukur banget Mbak. Seandainya gak ada Mas Sadwa, mungkin sekarang kita kesusahan. Tapi setelah ada Mas Sadwa, semuanya jadi lebih mudah. Aku bersyukur Nenek bisa dirawat di tempat bagus seperti ini."

Aku diam mendengarkan. Memang benar, apa yang Rumana pikirkan sama denganku. Tapi Rumana tidak tahu akan satu hal, aku tak mendapatkan semua itu dengan gratis. Ya, ada harga diri yang aku pertaruhkan di sini. Jelas aku tidak akan mengatakannya. Tapi memang benar, keberadaan Sadwa membuat hidupku jauh lebih baik meski dengan cara tak baik.

"Mas Sadwa gak ke sini Mbak?" tanya Rumana, menyadarkan aku dari lamunan.

"Ah, gak tahu. Kayaknya gak sih. Mas Sadwa kan harus kerja."

"Pasti Mas Sadwa kerjaannya juga bagus. Jadi Bos mungkin?"

Aku mendengus. "Mungkin."

Rumana kembali menyibukkan diri dengan camilan di atas meja. Sementara aku melangkah ke tempat nenek yang masih belum membuka matanya.

Meski baru beberapa hari, aku benar-benar sangat merindukan nenek. Aku rindu bagaimana cara nenek memandangku, rindu mendengar suara dan keluh kesahnya. Rindu segalanya. Semua tentang nenek, aku sangat merindukannya.

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang