Beberapa hari terakhir, Agam menjadi yang terakhir terlelap. Dia sengaja menunggu hingga terdengar dengkuran halus Anin yang memeluk punggungnya. Lalu akan bangun paling pertama. Memandangi wajah damai istrinya lamat-lamat tanpa membangunkannya.
Belakangan, sikap Anin berubah banyak. Anin lebih sering menunjukkan kasih sayangnya. Perhatian-perhatian yang terkadang berlebihan dan malah menjadi terlalu membingungkan untuk Agam terima. Bahkan gestur sederhananya terasa meyakinkan jika perempuan itu sedang menunjukkan semuanya, sebagaimana mestinya.
Pagi-pagi sekali istrinya itu akan berkutat di dapur tanpa membuat suara gaduh karena takut Ayah yang kamarnya di lantai satu terbangun. Menyiram bunga-bunga Ayah di halaman belakang. Menyiapkan bekal untuk Agam bawa kerja. Barulah dirinya sendiri bersiap-siap berangkat kerja.
Setiap sudut rumah ini seperti selalu ada Anin di mana-mana.
Harusnya Agam senang, segala penantian dan kesabarannya mungkin sebentar lagi terbayar. Tapi dia merasa sebaliknya. Dia tidak bisa menyambut segala perhatian Anin dengan perasaan tenang. Ketakutan itu masih ada, masih membayang jelas. Tidak mengizinkan Agam merasa terlalu bahagia—dan ini bukan sepenuhnya salah Anin.
Karena bisa jadi, pertunjukkan yang mereka buat bisa selesai kapan saja. Agam tidak punya petunjuk kapan akan berakhir. Terkadang, dia menatap Anin lama sekali, hanya untuk memastikan kata pisah itu tidak tiba—dan tidak pernah tiba. Setiap kali Anin bicara dia merasa takut kalimat itu terselip di antaranya. Agam selalu berusaha menyembunyikan yang satu ini. Anin mungkin bertanya-tanya bagaimana isi hatinya sekarang, dan Agam membiarkannya tetap begitu.
Kesehatan Ayah membaik cepat. Hanya perlu menemui dokter sekali lagi. Setelahnya dia dan Anin bisa kembali ke apartemen minggu depan.
Sebelum masuk ke mobil Niko yang menjemputnya, Agam berbalik. Anin sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan tapi kakinya masih beralaskan sendal rumah. Bekal sudah dia bawa, merasa bingung kenapa Anin mesti ikut mengantarnya ke mobil.
"Ada masalah, Nin?" Agam memastikan. Tidak ada yang janggal di raut wajah istrinya.
"Cuma pengin lihat kamu lebih sering."
"Aku nggak keluar kota hari ini."
"Siapa tahu besok, lusa, minggu depan?" Senyumnya terulas, sedikit merajuk meski Agam tetap tidak banyak memberi reaksi yang kentara bahwa dia menyukai Anin yang begini. Tapi matanya tak melepas Anin sedikit pun.
"Kamu selalu dadakan. Aku juga nggak bisa ngelarang."
"Atau kamu yang ada kerjaan di luar kota?"
Anin menggeleng. Agam kemudian pamit. Merasa percakapan mereka sudah cukup, membuka pintu samping kemudi dan Niko menyalakan mesin mobil.
Bahkan sampai mobil melaju melewati gerbang, Agam masih melihat istrinya berdiri di sana dari kaca spion. Perempuan itu melambaikan tangan.
Sampai kapan kamu akan bertahan, Nin?
***
Agam pulang larut. Dia siap meminta maaf karena lupa membalas pesan yang Anin kirimkan sore tadi. Perempuan itu bertanya dirinya ingin dimasakkan apa untuk makan malam. Ketika pulang, dia harusnya mendapati entah makanan apa di balik tudung saji. Tapi kosong. Pintu teras belakang tidak tertutup rapat. Agam melangkah ke sana, melongok ke beberapa arah. Menemukan istrinya sedang melamun di tepi kolam renang yang sudah tidak lama berfungsi tapi tetap rutin dibersihkan.
"Kamu pengin renang?"
Anin mendongak. Baru menyadari kehadiran orang lain selain dirinya. Tidak mendengar juga suara mobil yang datang. Selama dua jam dia merasa tenang duduk diam begini tanpa membawa ponsel yang dia tinggalkan entah di mana. "Kamu udah makan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterglow: you're not in love with me √
Romance[Angst] He fell first, she fell harder. Agam mencintai Anin sejak pandangan pertama. Lantas kemudian menjadi cinta pertama. Dipendam, tapi ditunjukkan. Entah tersampaikan atau tidak. Sementara bagi Anin, cinta pertamanya adalah Reno. Seseorang yang...