Chapt. 9

5.1K 826 105
                                    


Agam itu lelaki aneh.

Beberapa bulan menjadi istrinya, Anin tidak pernah dibuat kesal oleh hal-hal remeh. Tumpukan baju Agam di lemari selalu rapi. Agam selalu meletakkan pakaian kotor di keranjang dan bukan di kamar mandi. Agam tidak pernah mencopot kaus kaki sembarangan. Agam selalu mencuci piring dan gelas setelah makan. Agam meletakkan barang sesuai tempatnya. Agam juga menutup pintu kembali setelah lewat.

Agam, sekali pun, tidak pernah meletakkan handuk basah di atas kasur.

Sosok Agam ternyata jauh sekali dari prasangka Anin yang mengira lelaki itu akan bapak-bapak sekali. Mengingat bagaimana lelaki itu hanya hidup berdua dengan Ayah. Tidak ada yang mengomel ini-itu.

Dan yang terpenting, Agam tidak pernah ngorok—tidurnya kalem sekali. Setelah menikah, Anin jadi sering terbangun tengah malam. Berjengit sendiri saat menyadari tangannya menyentuh kulit orang lain atau embusan napas teratur Agam yang kadang terdengar dekat. Dia masih suka lupa kalau sudah menikah.

Anin melihat jam dinding. Pukul satu lebih. Kemudian menoleh ke wajah tenang Agam. Ini hari terakhir Agam kerja di Bandung. Pulangnya cukup larut. Sudah lelah tapi tetap mau menemani Anin makan malam—dan Anin yakin lelaki itu sudah makan sebelum pulang. Setelah makan, Agam mandi kilat. Tengkurap di kasur, memejamkan mata dengan cepat.

Dengan segala yang dimiliki Agam, entah fisik dan kepribadian baiknya, mudah bukan mencintai lelaki ini?

Tapi Anin mengakui dirinya memang bodoh. Sebodoh-bodohnya perempuan di dunia ini.

Dia tidak bisa, sedikit saja, mengosongkan gelas di hidupnya dan mengisinya kembali. Seperti yang lelaki ini katakan.

Meski pada kenyataannya, dia tersentuh dengan setiap apa yang Agam lakukan untuknya. Hati kecilnya ingin membalas hal serupa atau lebih, tapi ternyata sulit. Yang ada di hatinya, bukan lelaki ini.

Anin kini mengubah posisi tidurnya, menghadap ke Agam. Menekuk kedua tangan dan menjadikannya bantalan pipi. Matanys lekat memandangi gurat wajah yang sempurna. Sekarang atau nanti apakah akan sama? Tapi, berapa banyak waktu yang Agam berikan untuknya? Tidak mungkin lelaki ini mau di sampingnya untuk selamanya.

Bohong kalau Anin tidak bisa merasakan perasaan Agam. Terasa begitu tulus ditunjukkan. Anin tahu sejak awal. Dia hanya sedang membodohi diri sendiri dan semua orang. Yang dia lakukan hanya terus lari setiap kali Agam bicara soal hati. Dia tidak sanggup mengucapkan kalimat penolakan yang hanya akan menyakiti dan membuat Agam pergi dari hidupnya—dalam waktu dekat.

"Anin ... untuk orang yang berani mengambil banyak risiko untuk bersama kamu, sekali pun tahu apa yang akan dia harus terima nanti, jangan tanya isi hatinya seperti apa."

Sekarang, dia menjebak lelaki ini untuk hidup bersamanya. Menghadapi entah apa yang ada di depan mata. Kalau suatu hari Agam memutuskan untuk keluar dari 'kapal', apakah hidup Anin tetap akan sama?

***

"Kamu bikin sarapan apa?" Agam keluar dari kamar, membawa tab dan duduk di salah kursi di meja makan.

"Waffle."

Agam mengangkat wajah. Meneliti istrinya yang berpakaian santai dengan rambut dicepol asal. Sabtu. Anin biasanya akan pulang ke rumah orangtuanya. Sementara dirinya menjadi moderator seminar pagi ini.

"Mau?" tawar Anin.

"Dijadiin bekal aja. Aku makan di mobil."

"Siap."

Agam kembali menekuri layar tab.

"Aku nggak tahu mau ngapain hari ini," aku Anin.

"Mau ikut aku kerja?"

Afterglow: you're not in love with me √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang