"Selama di Medan, kepalamu kepentok apa?"
Apartemen sudah sepi. Selesai makan siang Anin memang kembali ke kantor dengan tenang karena Agam banyak yang menjaga. Tapi ketika sore dirinya pulang, dia mengusir halus ketiga orang itu. Dengan satu risiko, dirinya dan Agam akan kembali ke mode beku. Tidak ada perkembangan apa-apa sampai hari ini, tapi setidaknya mereka harus bicara, apa pun hasilnya.
Keduanya duduk di sofa dengan jarak ujung ke ujung. Menatap hari menuju petang dari jendela yang disibak gordennya lebar.
Jika tadi siang Agam mau repot-repot berlagak tidak ada masalah, sekarang lelaki itu kembali diam.
Diam yang membuat Anin jadi uring-uringan sendiri. "Kamu salah makan?"
"Inti pertanyaanmu ke mana?" tukas Agam.
"Kenapa kamu tiba-tiba berubah."
"Kamu tahu jawabannya sendiri."
"Ciuman di atap itu nothing, aku nggak pakai rasa. Lagian itu cuma salam perpisahan. Aku minta Mas Reno jauh-jauh dari aku dan dia nurut kali ini. Buktinya dia nggak rese lagi nyamperin ke sini."
"Salam perpisahan? Harus ya ciuman? Nggak sekalian tid—"
"Oke, aku salah." Suaranya meninggi tanpa sadar ketika hal itu coba disinggung lagi. Dia tidak bisa menyalahkan Agam yang berubah sinis. "Aku emang salah!"
Anin menyingkir dari sofa, berbalik, berjalan tiga langkah menjauh. Membelakangi Agam yang tetap tenang di tempatnya.
Banyak makian yang ingin Agam muntahkan sejak beberapa hari lalu. Tapi ketimbang memaki Anin, yang artinya hanya akan menyakiti diri sendiri juga, dia berkata pendek. "Mungkin aku capek."
"Capek itu istirahat. Bukannya nuduh aku macam-macam." Anin menoleh. "Aku bukan objek lampiasan emosi kamu."
"Sumber capekku itu kamu."
Telak. Anin langsung terdiam. Itu fakta. Dia tidak bisa membela diri apalagi menyangkal.
Anin bicara lagi setelah beberapa saat. "Kenapa ikut diam? Lanjutin nggak apa-apa. Keluarin semua unek-unek kamu soal aku. Maki aku kalau itu bisa bikin kamu lega. Biar aku ngerti secapek apa kamu."
Tidak mengindahkan kalimatnya, lelaki itu memilih berdiri meninggalkan sofa. Anin menatap punggungnya yang hilang di balik pintu kamar. Memang tidak perlu mengatakan semua kekesalannya, cukup dengan sikapnya yang begini, sudah mampu membuat Anin kacau.
Anin mencari pegangan ke meja terdekat. Mengusap wajah, menyibak rambut, menggigit bibir dan gerakan gelisah lainnya.
Tak lama, pintu yang dilewati Agam kembali terbuka. Anin sontak berlari mencegah. "Mau ke mana? Kamu masih sakit."
Agam selesai memakai jaket, melewati bahu Anin. Tapi perempuan itu tidak menyerah. Mendahului dan memasang tubuh di depan pintu, memblokir jalan. "Kamu nggak boleh ke mana-mana."
"Jangan ngatur."
"Kamu sakit. Aku jelas harus ngatur. Kurang gila apa, Niko bilang besok kamu mesti ke Semarang. Nggak usah maksain diri cuma buat ngehindarin aku."
"Aku kerja, bukan menghindar."
Sepasang mata Anin yang berkaca-kaca menantang berani. "Masih mau pergi sekarang?"
"Iya, tolong minggir."
Seemosional apa pun mereka berdua saat ini, dia sadar kalau dirinyalah yang harus mengalah di sini. Tatapan Anin pun melunak. "Biar aku aja yang pergi, oke? Kamu butuh berapa jam? Istirahat, tolong jangan ke mana-mana. Makan malam biar aku pesenin dari luar. Jangan lupa minum obat. Mau aku ngelarang sambil nangis-nangis, besok kamu tetap ke Semarang, 'kan? Usahain besok pagi udah sehat." Dia melewati tubuh Agam, mengambil tas di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterglow: you're not in love with me √
Romance[Angst] He fell first, she fell harder. Agam mencintai Anin sejak pandangan pertama. Lantas kemudian menjadi cinta pertama. Dipendam, tapi ditunjukkan. Entah tersampaikan atau tidak. Sementara bagi Anin, cinta pertamanya adalah Reno. Seseorang yang...