Anin membiarkan sekitarnya tetap redup ketika matahari yang semula dia duduk masih menyemburat jingga di langit hingga sekarang malam sempurna datang.
Hanya ada cahaya dari pintu kaca di depannya. Terpekur cukup lama di sana. Memikirkan apa saja selain satu hal yang menjadi mimpi buruknya belakangan, dan mungkin menjadi kenyataan dalam beberapa menit kedepan.
Akhir-akhir ini dia banyak berpikir. Sampai rekan-rekan divisi menyuruhnya mengambil cuti dan liburan entah ke mana. Satu-dua menduga wajah pucat Anin karena hamil. Untuk yang terakhir, dia tidak perlu menanggapinya dengan serius.
Ada sebotol wine dan selembar kertas di atas meja. Dia menyesap wine di gelas sesekali sambil tak lepas memandangi bugenvil ungu yang kemarin membuatnya senang. Setiap terbangun tengah malam, dia duduk di sana. Kesenangan yang amat singkat. Anin harus segera meninggalkannya.
Apa bunga itu boleh dia bawa ketika meninggalkan apartemen ini? Tidak yakin. Walau Agam mungkin memperbolehkan. Lebih baik juga jika dia tahu diri. Apa yang dia ambil dari hidup Agam sudah terlalu banyak.
Agam bilang sudah dalam perjalanan pulang dari bandara. Beberapa menit lagi sampai. Anin tidak punya banyak waktu untuk menyiapkan diri tapi dia yakin dengan keputusannya.
Bukan yakin, tapi terdesak. Dia ingin melawan, tapi tidak bisa.
Terdengar pintu sedang dibuka dari luar, Anin meletakkan gelas tingginya di meja. Melepas pandangan dari bugenvil ungu dan menoleh ke pintu, tempat Agam muncul. Menyambutnya dengan senyum lebar dan mata yang sedikit basah.
"Maaf, aku lama. Boleh dinyalain?"
"Jangan. Aku tenang kalau redup."
"Oke." Berjalan menghampiri sofa.
Anin masih tersenyum. Meneliti gurat lelah Agam. "Mau wine atau yang lain?"
"Kopi."
Dia tidak keberatan berdiri, menjerang air dan membuatkan kopi. Tapi sebelumnya dia sempat memberi pelukan ke Agam. Hanya sebentar.
Agam duduk, sibuk mengecek ponsel selagi menunggu. Terlihat lelah tapi dia sabar menunggu untuk tidak mandi dulu karena Anin sepertinya ingin bicara serius jika dilihat dari pesan yang perempuan itu kirim padanya.
Secangkir kopi diletakkan di atas meja. Saat itu Agam baru menyadari ada selembar kertas di sana. Hanya melihatnya sekilas tanpa berusaha mengenali tulisan yang tercetak.
"Ada yang pengin kamu bicarain?" Agam belum menyentuh kopinya.
Anin duduk di sofa yang berbeda. Dengan jari jemari yang saling meremas di atas pangkuan. "Aku nggak mau ulur waktu terlalu lama. Meski menyakitkan, tapi kita butuh ini."
"Butuh apa?"
Mata mereka bertemu. "Saatnya kita berpisah."
"Kamu mabuk?"
"Ini gelas pertama. Ayo berpisah," ulangnya.
Anin masih terus memandang Agam. Menunjukkan jika tidak ada keraguan sama sekali dalam sorot matanya, juga tidak ada kegamangan dalam suaranya. "Ini saat yang tepat buat kita pisah. Kita akhiri semua yang sia-sia ini."
Sesaat Agam mengembuskan napas beratnya dan memejamkan mata. Rentetan kalimat yang ingin dia teriakkan kembali ditelan paksa. Darahnya berdesir hebat. Jantungnya ingin meledak. Tapi, marah? Bagaimana caranya untuk marah?
Lalu, apa yang ingin dia tanyakan? Semua jawaban sudah dia temukan sejak awal. Dia tidak perlu lagi bertanya kenapa Anin mengajaknya berpisah. Perubahan itu sudah dia sadari sejak malam menemukan Anin terduduk di tepi kolam renang. Seminggu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterglow: you're not in love with me √
Romansa[Angst] He fell first, she fell harder. Agam mencintai Anin sejak pandangan pertama. Lantas kemudian menjadi cinta pertama. Dipendam, tapi ditunjukkan. Entah tersampaikan atau tidak. Sementara bagi Anin, cinta pertamanya adalah Reno. Seseorang yang...