Chapt. 13

4.7K 704 70
                                    


Agam turun di pelataran lobi dan detik yang sama dia menangkap apa yang terakhir ingin dia ketahui hari ini setelah lelah yang mendera tubuhnya. Rasanya tidak sanggup jika hatinya juga harus merasakan lelah yang sama.

Mengeluh, Gam? Tidak. Dia sudah tahu hal seperti ini akan terjadi. Sudah berusaha membiasakan diri tapi tetap sakit. Selama ini dia terlalu percaya diri bisa mengendalikan hatinya sendiri.

Mobil yang dikendarai Nico sudah berlalu tapi Agam masih bergeming di tempat. Pada satu titik, di dinding kaca di sisi kanan lobi, dia diam menyaksikan dua orang yang saling mencintai duduk bersama. Mungkin sedang meratap tentang perasaan mereka yang terhalang banyak hal. Atau bicara hal-hal menyenangkan jika hidup bisa mereka jalani bersama sebagai sepasang kekasih.

Cukup, Agam tidak ingin memikirkannya lebih jauh.

Mengusap wajah, Agam mulai melangkah. Ketika melewati lobi, dia hanya terus berjalan lurus ke lift. Berusaha tidak menoleh, pun ketika satu suara coba memanggilnya. Agam tidak menoleh sama sekali. Dia menekan angka di lift, menyandar di dinding dingin itu dan memejamkan mata.

Dentingan lift membuat matanya terbuka. Menyeret tubuh lelahnya keluar. Sampai di unitnya, Agam memilih langsung mandi. Lebih cepat mandi, lebih cepat dia tidur. Sehingga tidak perlu menghadapi Anin malam ini. Tidak perlu mendengar cerita atau penjelasan. Besok pagi dengan energi yang cukup, dia bisa menghadapi Anin dengan lebih baik.

Perkiraannya salah. Saat dia keluar dari kamar mandi, dengan handuk di kepala untuk mengeringkan rambutnya basah, Anin sudah bersedekap duduk di tepian kasur. Wajahnya sedikit ditekuk.

Agam menurunkan handuk ke sisi tubuh. Menunggu hingga Anin bicara.

"Aku habis ketemu Mas Reno."

Harus kalimat itu yang keluar dari bibir manisnya? "Iya, aku lihat."

"Kamu dengar aku manggil kamu?"

"Dengar."

"Dan kamu tetep jalan?"

"Kamu ingin aku gabung sama kalian di kafe? Jadi nyamuk?"

Anin menunduk. Tatapannya terhenti di handuk yang menggantung di tangan Agam. Dia sedang melawan suara-suara di kepala. Dia tahu kalau lelaki ini belum tahu salahnya di mana, jadi Anin harus bicara. Tapi bagaimana caranya?

"HP kamu lowbat seharian?"

Agam mengenyit. "Nggak."

"Kerja di pelosok?"

"Nggak."

"Ada sinyal?"

"Ada."

"Terus?"

"Te...rus?" Agam membeo. Lalu menguap lebar.

Anin makin menekuk wajahnya. Memutuskan diam dan belum bersuara lagi.

Agam menaruh handuk di keranjang baju kotor. "Nin, bisa pindah? Aku mau tidur."

"Tidur ya tidur aja."

"Tapi yang kamu duduki itu kasur bagianku."

"Kamu belum tahu kenapa aku gini?" Kamu nggak ngabarin aku pulang jam berapa!

"Gini gimana? Bukannya kamu seneng habis ketemu Mas Reno?"

Anin tidak menjawab. Dia berdiri, keluar dari kamar begitu saja. Agam melupakan kasurnya dan menyusul Anin. Dia cukup terganggu dengan ekspresi kesal yang ditunjukkan istrinya.

"Aku salah apa?" Agam berhenti di ambang pintu kamar. "Gara-gara kamu manggil dan aku nggak berhenti?"

"Nggak. Tidur aja."

Afterglow: you're not in love with me √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang