Prologue

6.8K 1K 35
                                    

Satu pesan masuk begitu Agam menutup acara dan tepuk tangan penonton belum mereda. Ponsel yang dia mode silent itu bergetar pendek lagi.

Agam baru bisa membuka ponsel begitu menuruni panggung.

Gam, sibuk?

Kalo gak, jemput dong, Gam

Dia mengambil jaket dan ranselnya, berpamitan lebih dulu. Tanpa membalas pesan, dia kemudian mempercepat langkah. Apalagi ketika mendongak ke langit, mendung sudah menggantung penuh.

Kebetulan venue dekat dengan tempat kerja Anin. Agam tidak butuh waktu lama untuk melihat perempuan itu menunggu di teras gedung. Rambut yang tadi pagi terikat rapi, kini hanya dicepol asal. Tetap cantik di mata Agam.

"Kamu nggak balas pesanku." Anin masuk ke mobil, mengatakannya bukan dengan nada merajuk.

"Tapi kamu nunggu."

"Kamu pasti datang. Nggak pernah nggak."

Agam tersenyum, melajukan mobilnya. Anin mulai menciptakan obrolan, yang sebenarnya mengganggu pikirannya beberapa hari ini. "Perempuan yang kemarin ngasih kamu jam tangan—"

"Dara namanya. Kenapa?"

"Dia nyatain cinta ke kamu nggak?"

Agam tetap menyetir dengan tenang, bahkan setelah mendengar pertanyaan itu. "Kentara banget ya kalau dia suka aku?"

"Nggak kentara lagi. Emang kayak sengaja ganjen ke kamu. Biar semua orang tahu. Dih."

Padahal Anin baru bertemu Dara sekali. Di acara makan malam perayaan ulang tahun Agam tempo hari. "Jamnya bagus. Mahal lagi."

Anin melirik pergelangan tangan Agam. "Terus kenapa nggak dipakai?"

"Takut rusak, kan mahal."

Anin mendecak. "Aku juga bisa beliin kamu, yang lebih mahal."

"Tapi ironman dari kamu lebih oke." Agam bahkan membuka kado dari Anin paling pertama. Mendapati hiasan dinding ironman di balik bungkus kado, yang dengan semangat Agam pasang di dekat ranjang saat itu juga.

"Kamu mau kostum Captain Amerika buat next birthday? Atau apa? Bilang aja."

Agam menoleh. Menatap Anin sungguh-sungguh. Aku mau kamu aja.

"Gam?"

Memutus pandangan dan kembali ke depan. "Apa ajalah, Nin. Yang kamu kasih aku pasti suka."

"Kamu nggak tanya balik?"

Dasar perempuan. Toh, Agam menurut. "Kamu mau kado apa di next birthday?"

"Pengin punya suami."

Agam tersedak liurnya sendiri.

"Nikah yuk, Gam?"

Agam kembali tersedak.

"Aku serius."

Daripada membahayakan nyawa, Agam segera menepikan mobil. Mematikan mesin mobil dan duduk menghadap ke Anin. "Kenapa, Nin? Kamu ada masalah di kantor? Duda itu gangguin kamu lagi?"

Anin menunduk, memainkan kuku. "Kamu nggak mau ya nikah sama aku?"

Bukan Agam tidak mau, Anin. Sungguh mau. Tapi kenapa tiba-tiba?

"Oke. Aku pengin dengar alasan kamu." Agam masih bersabar, bahkan ketika perempuan itu terdiam cukup lama.

"Karena kita sahabatan. Aku percaya kamu bisa jagain aku. Selama ini, kalau ada apa-apa, kamu yang selalu datang pertama. Dari masalah sepele sampai besar, kamu selalu ada. Sama kamu, aku berani jadi diri sendiri. Ya, memang, tanpa kamu sebenarnya lingkunganku udah supportif. Tapi hidupku ada kamu, semakin lengkap."

"Klise, Nin."

"Kamu butuh alasan lain?"

"Kamu cinta sama aku, Nin?"

Anin menatapnya. Agam berusaha menemukan jawaban di sepasang manik mata itu. Meraba kejujuran yang tersirat di antara banyak gurat. Hingga akhirnya Agam menangkap satu yang dia cari.

Namun ... di detik terakhir Agam berubah pikiran. "Oke. Kita nikah."

Satu keputusan impulsif menjawab ajakan Anin yang tak kalah random. Menikah.

Agam akan mempertaruhkan seluruh hidupnya pada perempuan ini.

Perempuan yang bahkan tidak mencintainya.

***

Udah kelar baca Womanizer di Cabaca? Nah, ini vibesnya bakal kek Juna dan Danishaaa. Prenjon porever!!!

Btw, harapan kamu utk cerita ini, seperti apa? Nyesek apa unyu2 anjim?

Sok-sokan nanya ya. Ntar ujung2nya jg dibikin nyesek. Gak liat itu Acid Adel kek apa 😌😂😭

Jumat/02.10.2020

Repost: 30.06.2021

Afterglow: you're not in love with me √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang