Chapt. 2

5.7K 918 34
                                    


Sudah dua tahun ini Agam bekerja sebagai Public Speaker di salah satu agensi besar ibu kota. Sudah mencoba berbagai macam acara dan seminar, tapi dia lebih mengerucut ke acara kondangan dan pemerintahan. Acara-acara besar berskala internasional lebih banyak diambil oleh Bang Juna—yang memiliki jam terbang lebih tinggi dan atas permintaan klien. Agam cukup sadar diri dengan terus belajar, bukannya sibuk iri dan minder.

Dia juga setahun lalu mendirikan kedai kopi, bersama seorang sahabat. Meski masih merangkak, tapi mulai terlihat ada harapan.

Jika jadwalnya kosong, dia akan menemani Ayah memancing. Bisa sampai seharian. Sama halnya seperti sekarang, setelah mengantar Anin ke kantor—istrinya itu bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan TV swasta—maka Agam menyetir pulang ke rumah.

Iya. Rumah itu tetap menjadi rumahnya meski dua minggu ini dia pindah ke apartemen. Anin sebenarnya tidak menolak tinggal di rumah ini, justru Ayah yang menolak. Alasannya waktu itu; Anin akan lebih nyaman jika kalian hanya tinggal berdua.

Ayah sudah menunggu ketika Agam tiba. Mereka menuju ke danau yang letaknya tidak begitu jauh dari pusat kota. Tidak banyak berbincang selama perjalanan. Ayah lebih banyak menatap keluar jendela dan Agam fokus ke depan.

"Ayah suka ajakan mendadak ini." Ayah berkata ketika Agam sedang membuka kursi lipat. Menyiapkannya di tepi danau dan memastikan sudah seimbang untuk diduduki. Setelah Ayah duduk, dia kemudian memasang kursinya sendiri.

"Iya, Yah, dadakan. Acara hari ini reschedule minggu depan."

"Dan kamu nggak tahu mau ngapain di apartemen." Ayah menebak. Tapi toh dia tahu bukan itu alasan anak ini mengajaknya memancing. Bisa dibilang ini kebiasaan Agam sejak lama. Selalu meluangkan barang sehari seminggu agar ayahnya ini tidak kesepian.

"Ayah nggak mau nikah lagi?" Suatu hari Agam pernah bertanya. Tidak hanya sekali. Bahkan setiap tahun. Masih dengan pertanyaan yang sama.

Maka Ayah akan balas bertanya. "Kamu ingin Ibu baru, Gam?"

Agam menggeleng. "Ayah biar ada temannya."

"Kamu bisa jadi teman Ayah. Nanti ketika menikah, istrimu juga jadi teman Ayah. Belum lagi anak-anakmu kelak. Ayah akan jadi teman terbaik mereka."

Ayah ini pensiunan kepala sekolah SMA. Pensiun tepat ketika Agam lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, dua tahun lalu. Ayah memang banyak di rumah setelah pensiun. Paling-paling pergi ke acara reuni, bermain catur di pos ronda, bersepeda ke pasar burung yang tidak jauh dari rumah. Ayah terlihat suka keramaian, tapi sebenarnya adalah penyendiri.

Dan itu menurun ke Agam.

"Yah." Agam menatap pancingnya yang belum bergerak.

"Apa? Mau tanya pertanyaan sakral itu lagi?"

Agam tersenyum. "Ayah nggak mau nikah lagi?"

Ayah pura-pura menghela napas lelah. Anak ini bebal untuk urusan itu. Padahal jawabannya tetap sama. "Kamu bisa jadi teman Ayah—"

"Maaf kupotong, Yah. Aku ingin dengar jawaban lain." Lalu menelengkan kepala. Tersenyum lebar. "Please."

"Ayah sudah punya teman baru."

"Oh ya? Siapa?"

"Istrimu."

Senyum Agam sirna sudah.

Terkekeh geli melihat wajah anaknya ditekuk. "Jangan kecewa begitu."

"Ayah nggak pengin ada yang menemani?"

"Ibumu tidak tergantikan, Gam. Tahun depan, berhenti bertanya soal ini. Jawaban Ayah tetap sama."

"Siapa pun wanita baik yang Ayah pilih, Agam akan setuju. Ibu boleh tidak tergantikan, tapi Ayah juga berhak bahagia."

Afterglow: you're not in love with me √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang