Ayah dipindahkan ke ruang rawat inap setelah mendapat penanganan cepat di ruang UGD. Ada luka jahitan memanjang di betis. Lecet di telapak tangan dan beberapa bagian wajah. Selebihnya hasil CT-scan dan rontgen di organ vital lainnya baik. Hanya saja Ayah cukup syok.Anin tiba di rumah sakit setelah Ayah tertidur. Dia hendak mendekat ke ranjang tapi Mama menarik tangannya meninggalkan ruangan. Menyeretnya ke sudut lorong yang sedikit sepi dari lalu-lalang.
"Kamu ngapain ke Anyer?"
"Lihat laut, Ma." Jawaban bodoh yang tidak sepenuhnya salah.
Mama bersedekap, menelengkan kepala tidak percaya. Bukan jawaban seperti itu yang dia harapkan apalagi setelah tahu kalau Agam tidak pergi bersama putrinya. Kecurigaan muncul begitu saja di benaknya. "Tanpa Agam?"
Anin menunduk, memikirkan alasan yang aman. Dia bisa bilang jika Agam ada di Semarang dan dirinya tidak mau menunggu, atau jujur tentang lelaki itu yang bilang tidak bisa menemaninya ke Anyer hingga terpaksa pergi sendiri.
"Kamu udah janji ke Mama, Anin." Mama mendesah menahan kesal karena ini tempat umum. Kecurigaannya semakin besar kala putrinya memilih diam. "Jangan lakukan hal bodoh apa pun dengan—"
"Aku ke sana sendiri, berangkat tadi pagi buta." Dan mari lupakan siapa yang mengantarnya ke rumah sakit. "Aku cuma suntuk, Ma. Bosen di apartemen. Agam belum pulang dari Semarang."
Mama tampak belum puas. Memicingkan mata. "Apa yang kamu sembunyikan dari Mama?"
"Nggak ada, Mama." Anin tidak menghindar, membiarkan mamanya membaca dirinya. Tidak ada yang dia sembunyikan kecuali perang dinginnya dengan Agam selama beberapa hari, Reno yang menyusul ke Anyer dan mengantarnya ke sini. Beruntung lelaki itu tidak memaksa turun atau semua akan benar-benar runyam. Agam memang belum ada di sini, melihatnya datang bersama Reno, tapi Mama? Bisa jadi lebih gawat. Dia tidak ingin situasi buruk ini bertambah tidak terkendali. Seperti ini saja Anin sudah kelimpungan.
Anin tidak sedang membohongi siapa-siapa. Tidak ada yang meminta Reno membuntutinya ke Anyer.
Langkah tergesa terdengar dari kejauhan. Anin menoleh lalu refleks meninggalkan Mama, menyongsong Agam yang baru datang dan tampak linglung. Semakin dekat, Anin melihat kepanikan yang besar. Tangannya terulur ingin menenangkan tapi Agam hanya fokus ke pintu, membukanya dan melesat masuk.
Anin bergeming dengan tangan yang menyentuh udara kosong. Panggilan lirihnya juga terabaikan.
Niko terdiam canggung di depan pintu setelah melihat gestur yang tak semestinya. Dia pun buru-buru pamit, entah ke mana.
Mama datang menepuk punggung Anin. "Mama temani cari sarapan."
"Tapi Agam—"
"Kamu bilang pergi pagi buta. Ayo sarapan dulu."
Tetap keras kepala. "Aku mau ketemu Agam dulu, Ma."
Mama menipiskan bibir, membiarkan Anin menyusul masuk.
Di dalam Papa sedang menjelaskan ulang perkataan dokter soal kondisi Ayah dengan suara pelan. Anin tidak terlalu fokus mendengarkan, perhatiannya hanya tertuju ke punggung Agam yang mati-matian ingin dia peluk. Tapi sekarang punggung itu sedang rapuh. Dia tidak ingin merajuk tentang dirinya sendiri. Bukan saatnya untuk egois.
Maka dia menahan diri tidak mendekat. Memberi ruang dan waktu Agam untuk merasa tenang setelah, entah seperti apa kepanikannya saat dikabari Ayah kecelakaan sementara dia sedang di luar kota.
"Kamu mau nuntut si Bocah Belegug?" Papa bertanya setelah selesai bercerita singkat kronologi kejadian.
Agam menatap ayahnya yang masih memejamkan mata. "Nanti terserah Ayah aja. Aku pengin nuntut tapi Papa tahu sendiri Ayah gimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterglow: you're not in love with me √
Romance[Angst] He fell first, she fell harder. Agam mencintai Anin sejak pandangan pertama. Lantas kemudian menjadi cinta pertama. Dipendam, tapi ditunjukkan. Entah tersampaikan atau tidak. Sementara bagi Anin, cinta pertamanya adalah Reno. Seseorang yang...